Sabtu, 26 Desember 2015

INDIGO

Prolog

Saya beranalogi. Jika semesta layaknya bumi, maka saat saya berada disini. Di antara kalian. Saya tahu, bahwa ada manusia lain di daratan lainnya. Di pulau, di benua yang lain. Atau bahkan di lautan.

Jadi jika saya saat ini berdiri disini. Di bumi. Maka seharusnya ada makhluk lain yang berada di planet lain, di galaksi tetangga. Mereka hidup di antara bintang-bintang.

Namun sebelum membahas mereka. Bagaimana kalau saya membahas tentang makhluk lain yang juga ada disini. Di sebelah kita. Di waktu yang sama dalam dimensi yang berbeda.

Bagi mereka yang penakut, ia disebut setan, roh halus, vampire atau bahkan zombie. Namun dalam berbagai kitab suci, mereka biasa disebut bangsa jin. Makhluk yang seperti kita. Makan, minum serta bersosialisasi layaknya kita. Hanya satu yang membedakannya dengan kita. Mereka terbuat dari api. Dan mereka membenci kita.

Cepat atau lambat, akan ada satu masa disaat pertikaian antara mereka dan kita akan terjadi. Pertempuran yang kelak akan dimenangkan oleh mereka yang memiliki keyakinan lebih dari yang lainnya. Dan semoga saja itu kita.

Chapter one **Mereka yang berwarna jingga**

Halilintar menggelegar meledakan langit jakarta. Kilatan cahayanya indah, bergaris saling bertautan. Dentuman demi dentuman terus menghentak. Bak simfoni suaranya sumbang. Persis sebuah orkestra dengan komposer kacangan. Tak ada indahnya. Suaranya hanya memekakan telinga.

Awan hitam yang lebih dulu tiba kian menebal. Mereka berarakan saling bergumul, siap menumpahkan cairan kesejukan. Namun sebelum cairan itu tumpah, hawa panas datang menjalar ke seluruh ruang. Membuat badan gerah. Membuat udara pengap.

Dan disinilah aku, berdiri di sebuah dermaga, dengan bersandar pada sebuah kayu lapuk penahan jangkar perahu.

Kunyalakan rokokku. Batang yang ketiga. Kuhisap dalam-dalam, hingga tenggorokanku gatal. Aku terbatuk. Menelan sebagian besar asap. Sementara sisanya tersembul lewat mulut dan hidung. Dadaku sesak. Aku terengah-engah.

Perlahan aku mengatur nafasku kembali hingga berangsur baikan.

Dari kejauhan aku melihat sebuah bayangan. Berbentuk siluet terhalang cahaya matahari yang kian memudar karena mendung. Tak sebuah, tapi dua, ups salah tiga. Salah lagi empat. Bukan, lima. Iya, lima bayangan. Mereka mulai mendekat. Kuamati sosoknya satu per satu.

to be continued..

Created: 26 Desember 2015

Inspired by: News Program TTV

Minggu, 22 November 2015

JAGA JARAK

“tap.. tap.. tap..”

Aku merasakan kehadiran derap langkahnya.

Berbeda dengan orang kebanyakan, ia selalu memulai langkahnya dengan kaki kiri. Lalu setelahnya baru kaki kanan, dan begitu seterusnya.

Pintu kamarku dibuka. Ia kian dekat. Empat meter, tiga meter, dua meter. Ia berhenti. Kini posisinya tepat di belakangku.

Seolah tak sadar akan kehadirannya. Aku pura-pura fokus menatap jendela. Melihat pemandangan di luarnya. Sebuah taman bunga.

Ia melanjutkan langkahnya. Setapak demi setapak. Ia berusaha untuk tak mengejutkanku. Tak mengganggu kagumku akan bunga.

***

Aku merasakan desah nafasnya berhembus mengenai bulu halus di leherku. Jarak wajahnya kini pasti tepat sejengkal dari kepalaku.

Aku masih pura-pura tak menyadari kehadirannya.

“Tama sudah makan?” ia menyapaku.

Aku hanya mengangguk.

“Tama mau Andina temani ke taman?”

Aku menggeleng.

“Tama hanya mau menyaksikan bunga Lily yang dulu kita tanam dari balik jendela.”

“kenapa?”

“Di luar panas. Tama gak pengen Andina kepanasan.” Kataku tanpa ekspresi, sementara ia menghela nafas panjang.

“Ya udah, Andina beresin kamar Tama dulu ya.”

Aku mengangguk.

***

Aku menjelajah masa lalu lewat khayalku. Kembali ke enam bulan lalu. Saat ia baru tiba di tempat ini. Seminggu setelah ayah ibu menitipkanku di sini.

Aku memukulnya. Mencakarnya. Meludahinya. Tapi ia tetap sabar. Tak membalas.

Lalu setelahnya, hampir setiap saat ia hadir di hariku. Berusaha meredakan amarahku. Membantu mencari kembali ketenanganku. Kewarasanku.

Hingga akhirnya ia berhasil. Aku tak lagi memukulnya. Mencakarnya. Meludahinya. Aku justru memujinya. Memujanya.

Selain sabar. Ia juga cantik, baik dan dewasa. Meski usianya setahun lebih muda dariku. Namun kedewasaannya itulah yang membuat aku akhirnya berjarak dengannya kini.

Semua berawal dari buku hariannya.

Aku membacanya. Saat ia tanpa sadar meninggalkannya di meja samping tempar tidurku.

Dear diary,

Aku sudah tak kuasa lagi menahan amarah ayahku. Entah ini kali keberapa ia memarahiku. Menegurku. Menyindirku.

Ia marah saat tahu betapa aku menyayangimu. Menyanjungmu. Dan diam-diam jatuh hati padamu. Kau yang kupikir tak pernah akan ada di hatiku. Kau Tama..

Tapi cukup sudah rasa ini hanya akan aku simpan sendiri. Toh kau tak akan pernah tahu juga. Apa lagi membalasnya.

Kini aku akan mencoba mengikhlaskanmu. Merelakanmu untuk tak jadi bagianku. Walau sulit. Apalagi saat aku harus bertemu denganmu. Ada kekecewaan dalam momen itu. Kecewa karena aku tak bisa jadi aku. Tapi biarlah rasa pahit itu juga jadi obat rinduku padamu. Obat yang perlahan akan aku tinggalkan saat aku telah benar-benar sembuh. Tapi sebelum semua itu terjadi biarlah kini aku jaga jarak denganmu. Agar kau tak lagi nyaman denganku.:(

***

“kenapa semua baju Tama dan barang-barang Tama ada di koper? Memangnya Tama mau pergi kemana?” Pertanyaannya membawaku kembali tersadar.

Aku membalikan badan. Menatapnya tajam. Tatapanku tak boleh kelihatan kosong. Aku harus berbohong. “Tama mau pulang. Dokter bilang Tama sudah sembuh. Tama sudah waras tidak gila lagi.”

Ia menatapku lekat. Memastikan kewarasanku. Aku berusaha keras tak kehilangan fokusku akan matanya. Aku tak ingin ia menyadari kebohonganku.

Ia tersenyum. 

“2 ditambah 2 berapa?”

“empat..”

“6 dikurangi 3 berapa?”

“tiga..”

Ia menitikan air mata. Lalu memelukku.

Di balik peluknya aku tersenyum karena telah membohonginya. Dua ditambah dua kan tujuh pikirku.

***

Pintu kamarku diketuk. Tampak Ayah, Ibu dan dokter Harris.

“Ayo Tam kita pulang.” Kata ayahku.

Aku mengangguk.

Aku melepaskan pelukanku ke Andina. Kembali menatapnya. Mataku berbicara dengan matanya. Kulalukan semua kebohongan ini demi kamu Andina. Demi kesuksesanmu menjaga jarakmu denganku. Demi keredaan amarah ayahmu. Demi kebahagianmu. Walau untuk itu aku harus pura-pura waras. Pura-pura tak gila.

Aku menjabat tangan Andina.

“Terima kasih..”

“Sama-sama.” Katanya.

Ia menitikan air mata. Entah apa maksud air mata itu. Bahagia karena aku kembali waras atau ia sedih karena menyadari kebohonganku.

Created: 22 November 2015

Inspired: ...

Rabu, 18 November 2015

GRAVITASI BUMI

Scene 1 Wedding Invitation

mentaripagi@gmail.com  Dear Bumi..WEDDING INVITATION: Mentari And... Nov 6

What..?! Undangan nikah dari Mentari.

Aku menghela nafas panjang sementara mataku nanar menatap layar komputer.

Pikiranku kacau. Hariku mendadak buruk. Tubuhku bak tersambar petir lalu diguyur hujan lebat dan berakhir masuk angin. Aku demam.

Mentari akan menikah? Aku gak terima. Mentari, cinta pertamaku. Cinta keduaku. Ketigaku. Cintaku satu-satunya.

Lama mataku terpaku pada layar komputer. Berharap email dari Mentari hanya fatamorgana yang perlahan hilang dengan sendirinya. Tapi nyatanya, makin lama email itu kian fokus dan justru yang lainnya memudar dan sirna.

Kini pikiranku dipenuhi tanda tanya. Siapa laki-laki yang akhirnya mampu menaklukan mentari.

Penuh rasa penasaran, aku memberanikan diri membuka email dari Mentari.

“WEDDING INVITATION: Mentari And Bintang.

By requesting mercy and blessings God. We Invite you to our marriage and wedding ceremony.

The marriage will be held on: Friday, 20th November 2015 at Balai Kartini, Jakarta.”

Tidak!!!. Jangan Bintang. Mentari berhak mendapatkan laki-laki yang lebih layak, yang lebih baik. Seperti aku. Upss, bukan itu maksudku. Siapa sajalah, asal bukan Bintang.

Bintang, lelaki busuk. Playboy cap tikus. Cassanova kelas teri. Aku membecinya sejak dulu. Sejak melihatnya. Sejak ia mendekati mentari, lalu memacarinya dan akhirnya memutuskan cintanya.

Aku harus mengingatkan mentari. Aku punya waktu dua minggu untuk membuat Mentari menyadari kesalahannya.

Aku butuh bantuan. Aku butuh Rembulan. 


Scene 2 Menemui Rembulan

“Hallo..”

“Ada apa Mi?”

“Mentari bakal nikah. Sama Bintang.”

“Owhh..”

“Hah!? Kok owhh? Lan, Hallo Lan..”

“Arrgghhh. Sambungan teleponnya putus.”

Aku kembali menelpon Rembulan. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.”

“Yahh, sial.”

***

Sejak membuka email tadi pagi pikiranku melayang jauh. Sangat jauh, hingga menujunya diperlukan sebuah mesin waktu. Aku kembali ke masa SMP-ku. 14 tahun lalu. Pertama kali aku melihatnya. Saat itu sedang Masa Orientasi Siswa. Wajahnya berbeda dari yang lain. Lebih terang. Lebih Benderang. Ia bersinar. Ia Mentari.

“Bum.. Bumi..”

“Eh, iya Mas.” Jawabku kaget. Mas Dewa membuyarkan lamunanku.

“Jangan lupa ya, nanti jam tiga sore kamu mesti ketemu client di Pacific Place.”

“Iya Mas.”

Aku langsung melihat jam tangan, sementara mas Dewa telah berlalu meninggalkanku. Ia kembali menuju ruang kerjanya.

Masih jam sebelas, artinya aku masih punya waktu empat jam lagi untuk menyelesaikan bahan presentasiku nanti.

Bekerja di sebuah agency asing ternama di Jakarta membuatku akrab dengan deadline yang ketat. Saat ini jabatanku asisten manager dan mas Dewa adalah managerku.

Mas Dewa merupakan sosok yang tenang. Ditinggal ibunya sejak kecil menjadikan ia seorang yang mandiri. Ibu mas Dewa meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang. Tak lama setelah kejadian itu, masih di tahun yang sama, ayahnya lantas menikah lagi. Mas Dewa yang kala itu masih duduk di kelas tiga SMP kemudian memutuskan masuk sekolah asrama, hingga tamat SMA. Mas Dewa menyelesaikan kuliah S1 dan S2nya di Amerika dan baru kembali ke Jakarta sekitar lima tahun lalu. Saat ini usianya 35 tahun.

Kring.. kring.. Teleponku berbunyi. Dari Rembulan.

“Hallo.”

“Hallo Mi, sorry tadi lagi di basement jadi lost signal.”

“Iya gak apa-apa. Ada waktu gak Lan hari ini?”

“Ada lah.. Kayak sama siapa aja. Kenapa?”

“Gak apa-apa. Ketemuan yuk.”

“Oke. Tapi malam ya. Di atas jam tujuh. Sore ada meeting soalnya.”

“Sip. Deal ya.”

“Deal.”

***

To be continued..


Created: 18 November 2015

Inspired: Gravitasi

Rabu, 04 November 2015

GRAVITASI

Mataku menatap matanya. Tak lama. Aku coba menghitungnya. Ternyata tak lebih sampai hitungan kelima. Tapi tak apa. Aku menikmatinya. Lagi pula klimaksku sudah tiba pada hitungan yang ketiga.

Puas dengan matanya. Kali ini giliran bibirnya yang menjadi fokusku padanya. Bibir yang selalu saja tak henti bicara. Obrolannya dari Z sampai A. Kadang aku tak suka topik bahasannya. Namun aku tetap menyimaknya. Bukan kata di penutup kalimat yang aku ingin jumpa. Tapi tawanya. Tawa yang selalu ada di akhir cerita.

Membicarakan dirinya tak lengkap rasanya jika tak membahas geraknya. Gerak yang dinamis tak pernah statis. Gerak yang mampu menghipnotis siapa saja yang memperhatikannya. Buat semua terkesima. Geraknya tak gemulai. Tegas namun tak keras. Lembut tapi tak mudah menurut. Ia berkompromi.

Suaranya. Aku tak bisa melupakan suaranya jika harus membahas tentangnya. Suaranya Indah. Nadanya tak tinggi namun juga tak rendah. Pas rasanya. Ada lagi yang menarik dengan suaranya. Aku merasakan ada jiwa dalam setiap kata-katanya. Baik saat ia berdendang maupun saat ia hanya bergumam.

Dengan semua yang ada pada dirinya. Maka aku mengelilinginya. Berotasi pada sumbu yang ia ciptakan. Tanpa harus mendekat atau justru menyentuhnya. Sebab aku tahu, radiasi bisa saja menghancurkanku. Hancur bersama kenangan tentangnya. 

Meski demikian, berbeda dengan kawanku yang lain, seperti Mars, Jupiter dan Saturnus. Aku masih lebih beruntung. Jarakku yang lebih dekat membuatku lebih sering berotasi padanya. Aku hanya butuh 24 jam untuk satu putarannya. Karena aku adalah Bumi dan ia Mentari.

Kini yang harus aku pastikan, gravitasi tetap menjaga kami. Menjaga aku tetap pada porosnya. Agar aku tetap bisa berotasi. Mengelilinginya. Memberi makna akan kehadirannya sebagai pusat galaksi.

Created: 04 November 2015
Inspired: Sara Bareilles - Gravity

Kamis, 29 Oktober 2015

JEDA

Andy menarik nafasnya dalam-dalam. Ia menahannya sementara. Ada jeda sebelum akhirnya ia membuang kembali nafasnya itu ke udara.

Banyak hal yang ia pikirkan dalam sepersekian detik saat jeda tadi. Tentu diantaranya bukan memikirkan bagaimana proses kimia mampu merubah oksigen yang dihirupnya menjadi karbondioksida. Tidak sama sekali. Andy benci pelajaran kimia.

Ia hanya memikirkan Hanum. Segala tentangnya.

Hanum. Andy pertama mengenalnya sepuluh tahun lalu. Saat itu keduanya masih duduk di bangku SMA. Hanum seorang bipolar, setidaknya itu yang ada dibenak Andy saat ini. Hanum selalu bersikap manis padanya. Terlampau manis, hingga Andy tak sadar ketika Hanum tiba-tiba menyakitinya. Meninggalkannya.

***
Andy mematung menatap layar monitor di kamar Rumah Sakit. Layarnya hitam. Hanya ada garis lurus berwarna biru ditengahnya. Membentang dari ujung kiri hingga ujung kanan layar.

Diabetes. Ini semua salahnya. Berkali-kali Andy menyumpahi dirinya sendiri sembari memukul-mukul paha kanannya. Ia menyesal. Jika saja ia tak terlampau mencintai Hanum. Jika saja ia sedikit memberi kekecewaan dalam hidup gadis itu. Membuat hidupnya pahit dan bukannya selalu manis. Jika saja ia memberinya pare atau daun pepaya dan bukannya gula, tentu Hanum tak akan kena diabetes. Begitu pikirnya.

Tapi toh Andy selama ini memilih memberikan gula pada Hanum. Gula yang selalu membuat Hanum tersenyum. Tertawa, hingga terpingkal-pingkal.

Kembali Andy menyalahkan dirinya. Dirinya yang telah kecanduan akan senyum dan tawa Hanum. Dirinya yang begitu memujanya. Dirinya yang mendadak lupa akan pelajaran Ibunya, bahwa sesuatu yang berlebih itu tak baik. Termasuk rasa sayangnya pada Hanum.

***
Andy termenung di atas rooftop apartemennya. Imajinya bergerak liar. Ada sosok Hanum dalam lamunannya. Melihat bintang sembari ditemani secangkir coklat panas. Satu untuk berdua. Sebuah ritual yang biasa mereka lakukan setiap malam di akhir pekan.

Kini tak ada lagi Hanum. Tak ada lagi coklat panas kesukaannya. Ia hanya ditemani bintang serta segelas limun. Ya, Limun. Minuman manis yang mengandung banyak gula. Andy yang tak punya riwayat diabetes memang butuh banyak gula untuk mempersingkat jedanya. Jeda antara dirinya dan Hanum.

***
Dalam diamnya Andy tersenyum. Sewindu tanpa Hanum membuatnya kian dewasa. Andy tak lagi ingin mempersingkat Jedanya dengan Hanum. Ia Paham bahwa akan selalu ada jeda dalam setiap kesempatan. Karena Jeda bukanlah titik, koma, tanda seru atau tanda tanya. Jeda hanyalah spasi menuju kata berikutnya. Jeda ada agar kalimat lebih indah, lebih mudah dipahami hingga tidak ruwet, tidak ribet.

Created: 22 October 2015
Inspired: Karena Jeda ada dalam setiap kesempatan.

Rabu, 28 Oktober 2015

KIBLAT

“Saatnya kita berpisah. Maafkan aku yang telah mampir ke hatimu. Asal kau tahu, dirimu sesungguhnya juga telah hadir di hatiku. Lama sebelum kau sadari itu. Tapi aku tahu kisah kita tak akan abadi. Ada yang salah dengan takdir kita. Kau pasti tahu apa itu. Jadi sebelum semua semakin rumit, aku memilih pergi. Menghilang. Tapi tak melupakanmu. Selamat Tinggal.”
Pesan terakhirmu kerap kubaca berulang kali. Kubaca hingga mataku lelah. Hingga aku tertidur dan bermimpi tentangmu. Tapi mimpi itu tak sama seperti kisah kita dahulu. Kau acuhkan aku. Tak membalas sapaku.
Sudah tiga minggu sejak pertemuanku yang terakhir denganmu. Kau menepati janjimu untuk melupakanku. Tak ada lagi pesan suara merdu darimu. Tak ada lagi kata-katamu yang kerap menginspirasiku. Kau sukses membuatku merindu.
Hingga di suatu pagi aku merasakan desahmu. Suaramu beserta bau nafasmu yang khas membisik telinga kananku. Aku menikmatinya. Masih dengan mata terpejam. Belaimu menyentuh lembut lenganku. Nikmat hingga bulu kudukku merinding.
Aku mulai membuka mataku. Tapi tak ada dirimu. Secepat itukah kau menghilang? Entah ilmu apa yang kau kuasai kini, hingga kau mampu hadir walau tanpa ragamu.
Owhh, jendela kamarku terbuka. Aku tahu kau pasti mampir tadi. Berkunjung diantar angin. Aku tahu sejak lama kau bersahabat dengan angin. Dulu sekali, aku selalu mendengar bagaimana kau memuja angin. Berkata anginlah kekuatan alam yang paling dahsyat. Lebih dari api, air atau  logam terkuat mana pun.
Aku pun membiarkan jendela kamarku tetap terbuka.  Berjaga-jaga jika saja nanti kau sudi kembali untuk mampir kesini. Ke kamarku yang sempit. Kamar yang penuh dengan foto wajahmu. Dengan satu foto utama sebagai kiblatnya. Foto di atas meja yang persis menghadap tempat tidurku. Sengaja aku letakkan meja itu disana, agar aku mudah melihatmu. Agar aku tak pernah lupa betapa indah raut mukamu. Agar aku mengenangmu. Tak lupa di samping kanan kiri fotomu kuletakkan beberapa buah apel. Buah kesukaanmu. Bersama tentu saja dupa. Barang yang setiap pagi kau nyalakan untuk melekatkan doamu pada Tuhanmu.
Hingga siang aku menatap wajahmu. Tak bosan rasanya. Tapi aku harus berhenti sejenak. Aku ingin menghadap Tuhanku, sebab waktu dzuhur telah tiba.
Aku mengambil wudlu. Lalu menuntaskan salat empat rakaatku. Aku berdoa pada Tuhanku untukmu. Semoga kau damai di tempat barumu. Entah Tuhanmu atau Tuhanku saling kenal, aku tak peduli. Aku hanya berucap, tak mengharap dibalas ucap kembali. Yang kutahu aku mencintaimu Lam Bok Sia. Aku Anisa Sakinah.
Created: 11 October 2015
Inspired: a word from NDA at Bright Cafe.