Rabu, 19 Oktober 2016

I Love U

Prolog.

Ia mengebaskan rambutnya. Tersenyum. Dan aku langsung jatuh cinta.

“Bengong aja loe.”

“Eh, hmm.. Ngga kok. Lagi ngapalin adegan.”

“Gila cantik banget sob model ceweknya.”

“Yang mana?”

“Halah. Basi loe. Itu yang dari tadi lo liatin. Namanya Caitlin.”

“Owh, namanya Caitlin.”

**

“Hai. Gw Caitlin. Tapi kalau ribet, panggil aja gw Cathy.”

“Eh, hai. Gw Prast.”

**

“Oke ya. Roll. Action.”

Ia melangkah menujuku. Tersenyum. Matanya berbinar. Bibirnya merekah. Tangannya lalu menghampiriku. Menarik lenganku. Menuntunnya. Pergi bersama jemarinya.

“Oke, bungkus ya. Makasih.”

“Makasih.” Balasnya sambil membungkukan kepala.

Sementara aku terdiam. Menatapnya. Sambil mencari hatiku.

“Ia pasti telah mengambilnya. Sewaktu jemarinya menyentuh lenganku tadi.” Pikirku dalam hati.

**

“Kok diam aja sih?” Cathy menyapaku.

“Nggak apa-apa. Ini pengalaman pertama gw aja.”

“Pertama apa?”

“Jatuh cinta.”

“Eh salah. Maksudnya pertama kali ikut syuting video klip.”

“Sama. Gw juga.” Katanya sambil tersenyum.

Hening.

“Prast.” Cathy coba membuka obrolan.

“Iya.”

“Taruhan yuk.”

“Taruhan apa?”

“Tiga tahun dari sekarang. Siapa di antara kita yang lebih ngetop.”

“Hmm, ukurannya apa?”

“Ya, bisa siapa yang lebih dulu dapatin award. Atau banyak-banyakan video klip. Atau banyak-banyakan jumlah followers instagram.” Katamu sambil tertawa.

“Boleh.”

“Apa nama restoran tempat kita syuting ini?” Tanya Cathy.

“Leber und Geschmack.”

“Okay. Tiga tahun lagi. Di tanggal yang sama. Kita ketemu lagi disini ya. Siapa yang kalah mesti traktir.”

“Okay.” Jawabku mantap. Tiga tahun lagi. Semoga waktu berjalan lebih cepat mulai esok doaku.

-to be continued-

Selasa, 13 September 2016

MEREKA YANG SPESIAL

Berapa banyak mereka yang spesial buatmu?. Lupakan soal Ibumu, Bapakmu serta saudara sedarahmu yang lain. Coret juga mereka yang pernah ada di hatimu lalu melukainya. Mereka yang tak pernah benar-benar mencintaimu. Nah, sekarang jawab! Tersisa berapa?.

Merekalah yang spesial.

**

Masih dalam proses belajar nulis non-fiksi. Kali ini gw mau angkat topik soal mereka para sahabat. Ide tulisan ini gw dapat saat ngobrol santai dengan Nana, salah satu teman di kantor. Dalam percakapan singkat itu gw melontarkan kalimat bahwa gw sudah merasa cukup jika punya teman baik 3-4 orang saja. Tapi buat Nana itu gak cukup. Nana suka punya banyak teman. Angka 300 pun terlontar. Ke semuanya ia harapkan bisa jadi teman baik. Amien dalam hati gw mendoakan.

Setiap orang tentunya punya standar dan selera masing-masing dalam memilih teman pun berteman. Buat gw, eksklusivitas itu penting. Motto gw, i don’t care with everybody, i just care with my buddy.

**

Roda waktu terus berputar. Dalam setiap masanya ada yang hadir lalu hilang. Tapi mereka yang spesial tetap tinggal. Tak secara raga kadang, namun jiwa terus ada.

Romy adalah mereka yang spesial pertama buat gw. Ia satu dari sekelompok teman dekat gw kala TK, SD sampai SMA. Ada Ratih, Chandra lalu Ayu juga. Tapi Romy kemudian mencuat jadi spesial yang pertama. Momen seorang teman jadi yang spesial tentunya beragam. Tak pernah sama.

Romy tak cerdas. Kadang cenderung bodoh. Tapi ketulusannya, belum pernah ada yang menandinginya, bahkan hingga saat ini.

Lampu kuning terang menyala di atas kepalanya. Saat itulah gw sadar ia jadi spesial yang pertama. Masa disaat mantan kekasih gw berkata. Ayo kita pergi ke Malang. Bahagia bersama disana.

Mendengar hal itu Romy segera cari cara. Ia kumpulkan semua yang ia punya. Rupiah demi rupiah yang ada. Lalu diberikannya pada gw, sebagai bekal gembira katanya. Tak lama kekasih gw itu kemudian pergi. Menuju tanah bahagianya sendiri. Namun Romy tetap tinggal, menjadi si penggembira.

*

Irfan adalah mereka yang spesial kedua buat gw. Kakaknya pintar banget, adiknya cantik banget. So irfan jadi nothing buat keluarganya. Tapi buat gw, dia spesial.

Hadir bersama Edi dan Alip, Irfan muncul jadi yang spesial pas kuliah. Punya feeling dia bakal jadi mereka yang spesial?. Nggak sama sekali. Irfan justru jadi cowok pertama yang pengen gw gebukin pas kuliah. Songong abis. Rajanya nyela. Tipikal Bombom, kakaknya Lala di film Bidadari.

Tapi mereka yang spesial selalu punya caranya sendiri untuk masuk dalam lingkaran.

Lampu Irfan menyala saat malam itu dia datang ke kostan gw. Menyerahkan sejumlah uang. Katanya buat bekal sukses lo bro. Jadi ketua BEM. Jumlah yang jika dihitung bisa buat bayar sewa kantor sekretariat selama tiga bulan. Thanks bro, kata gw. Next posisi apa pun yang lo mau di kabinet tinggal bilang. Tapi jawaban dia, “kita gak butuh yang kayak gituan bro, pokoknya pas lo udah sukses, kita maunya kapan pun kita panggil lo untuk main, lo harus datang. Itu aja”. Gw diem. Bingung mau ngomong apa. “Ya” jawab gw lirih.

Gw kemudian gagal jadi ketua BEM. Pemilihannya di boikot pihak rektorat. Tapi gak masalah. Karena gw dapat yang lebih abadi. Bukan jabatan yang cuma setahun, tapi sahabat yang akan selalu ada bertahun-tahun. Hingga saat ini. 16 tahun berselang, and still counting.

*

Olivia (bukan nama sebenarnya) masuk daftar mereka yang spesial berikutnya. Gw menemukan dia setelah sembilan tahun masuk dunia kerja. Berbeda dari kedua spesial sebelumnya, pertama kali ketemu Olivia gw langsung sadar. Dia bakal jadi yang spesial. Chemistrynya parah. Bunyi klik, langsung terdengar, bahkan sebelum kata pertama keluar dari mulutnya.

Olivia hadir bersama Lidya, Nunu, Joan dan Lisa.

Btw gw selalu menghargai orang pertama yang menegur gw secara tulus pas gw mulai memasuki sebuah komunitas baru. Dan kala itu, hari kedua. Teguran tulus Olivia jadi pertama yang gw dengar ditempat itu.

Intermezo..

Dulu pas SMA ada satu cewek yang melakukan hal itu. Namanya Nur Aini Rahman. Cantik banget. Sayang kala itu ego gw terlalu tinggi. Kalau ada kesempatan lagi, pengen rasanya gw mengenal dia lebih dalam.

Pas kuliah, ada satu cewek yang melakukan hal itu. Namanya Winda Irawan. Cewek tomboy abis. Dia suka banget jadi bahan bullyan. Gw yang sebenarnya juga termasuk si tukang bully punya pengecualian buat Winda. Gw gak pernah sedikit pun nyolek dia. Termasuk seluruh teman-teman gw. Buat gw, dia mesti dilindungi.

Kenapa gw sangat menghargai orang yang tulus negur gw di saat awal gw mulai masuk komunitas baru?. Jawabannya karena mereka adalah orang-orang yang menerima gw sebenarnya. Bukan mereka yang menerima gw setelah gw menggunakan banyak topeng di wajah.

Buat Olivia, di kantor gw adalah segala. Dia selalu ngajak gw sebat (baca: ngrokok), umumnya gw selalu mau. Kalau nggak mau, biasanya dia maksa, baik lisan maupun via japri. Nah kalau benar-benar nggak mau, barulah dia cari teman yang lain. Perlakuan dia yang menjadikan gw pilihan pertama dibandingakn yang lain di kantor sangat gw hargai. Maka apa pun permintaannya, jika gw masih sanggup pasti akan selalu gw turutin.

Gaya dia menurut gw saat ini di kantor terlihat di pasangan Ani dan Yanto. Buat Ani yang tertutup, Yanto adalah segala. Ia selalu jadi pilihan yang utama dibanding yang lain. Ani baru memilih yang berbeda jika Yanto tak ada.

*

Joan (bukan nama sebenarnya), jadi mereka yang spesial terakhir sejauh ini. Butuh waktu lama buat gw menyadari bahwa dia adalah yang spesial berikutnya kala itu. Dua tahun lebih dan akhirnya gw baru sadar, she’s special.

Lampu kuning terangnya menyala saat ia menceritakan kisah orang tuanya. Ada haru yang dalam gw rasakan saat itu. Begitu dalam hingga gw mengucap kalimat ini dalam hati “Gw harus buat dia bahagia”. Dan entah kenapa, selalu ada rasa happy yang gw rasakan saat berusaha melindungi Joan dari orang-orang nggak baik, atau juga saat gw coba melakukan sesuatu yang bisa ngbuat dia senang. Dari Joanlah gw belajar berkorban untuk mereka yang spesial. Ke depan, ada satu hal yang harus gw lakukan demi dia. Meluruskan segalanya. Walau untuk itu gw mungkin harus kehilangannya.

Hilang, tapi bukan berarti benar-benar tak ada kan.

Banyak teman-teman cewek gw yang nanya, “Kenapa sih lo belain Joan banget?”. Jawaban gw klise, “Yah, namanya juga teman”.

Dalam hati gw pengen jawab, “Lo semua beruntung. Kalian tahu efek psikologis dari kehilangan sosok bapak buat anak perempuan. Gede banget. Salah satunya kepercayaan diri.”

Joan pernah cerita. Pas SMA ada seorang pria yang ia suka, begitu pula si pria pada Joan. Namun ia tak berani mengikat cintanya. Alasannya dia malu, jika si pria tahu ia tak punya bapak. Entahlah, atau mungkin juga ia ragu akan kehadiran seorang pria di hatinya.

Tak adanya seorang bapak buat anak perempuan menurut gw juga berpengaruh besar pada sulitnya ia menemukan contoh nyata seorang pria yang benar-benar sayang padanya. Dia jadi gak tau gimana rasa hangatnya pelukan pria yang tulus sama dia. Layaknya pelukan bapak pada anak perempuannya. Karena gak tau itulah, jadi dia gak bisa nyamain pas udah gede, saat laki-laki meluk dia, mana rasanya hangat yang tulus sama mana yang tidak.

Gw sayang banget bapak gw. Begitu sayangnya, hingga gw gak tau apa yang harus gw lakukan jika nggak ada dia. Pokoknya bapak adalah My MVP in the world lah. Atas dasar itu gw berusaha menyelami perasaan orang yang tidak dianugerahi seorang bapak, terutama saat masa kecilnya. Terlebih anak perempuan. Itu alasan kenapa gw begitu sayang sama Joan.

Menjadikan Joan sahabat adalah opsi terbaik gw, karena pastinya gw gak bisa jadi bapaknya Joan. Selain kurang tua, wajah gw juga gak mirip. Justru bahaya kalau sampai gw ngaku-ngaku jadi bapaknya.

**

Apa yang gw tulis ini cuma setitik kisah dari lautan cerita yang ada soal mereka yang spesial. Intinya, gw sudah cukup puas dengan kehadiran mereka yang spesial di lingkaran pertemanan gw. Bersama mereka gw gak perlu lagi 300 teman seperti yang Nana inginkan.

Jika Tuhan yang menentukan siapa orang tua dan pasangan hidup kita. Maka mereka yang spesial adalah jodoh yang kita tentukan sendiri.

Inspired by: Nana and her friends.

Rabu, 07 September 2016

Cowok vs Pria

Yeaayy.., akhirnya nulis lagi setelah hampir tiga bulan vakum. Oh iya, kali ini gw mau coba nulis non-fiksi. Hahaha.., bukan genre gw banget sih sebenarnya, secara gw kan anaknya fiksi abis. Tapi ya sudahlah ya, dicoba aja. Btw tulisan ini bukan soal benar atau salah, cuma sebuah pemikiran dari sudut pandang gw aja.

Ide tulisan ini gw pilih setelah sebelumnya dapat informasi dari seorang teman yang bekerja di sebuah perusahaan televisi swasta di Jakarta. Tentang bagaimana rekan kerjanya memperlakukan dia. Teman gw cewek, sebut aja namanya Joan, sedang temannya cowok, sebut aja Ucok. Keduanya bukan nama sebenarnya.

Nah ini dia nih pegnya.

Suatu hari Joan cerita ke gw bagaimana dalam bekerja ia kerap diberikan beban pekerjaan yang lebih berat dari Ucok. Joan sih gak masalah sebenarnya. Dia cuma curhat aja. Tanpa ngeluh.

Ceritanya: Jadi pernah pas Joan kerja berdua bareng Ucok, ia dapat bagian pegang segmen 1, 2 dan 3. Segmen 1 biasanya berita headline yang fresh. Segmen 2 isinya Live. Segmen 3 paling-paling berisi berita rerun dari program sebelumnya.

(oke biar gak bingung gw jelasin sedikit ya, Joan dan Ucok adalah news producer. Mereka bertanggung jawab atas siaran berita yang berdurasi satu jam. Isinya 6 segmen. Tiap segmen durasinya antara 6-7 menit). Oke lanjut yaa.

Eiittss, tapi mendadak setelah rapat sore ada yang berubah. Joan jadinya kedapatan pegang segmen 1, 2 dan 6. Segmen 6 berisi liputan wajib yang harus dikerjakan secara seksama.

Joan sempat protes, kenapa begitu. Kalau memang Ucok gak pede pegang segmen 6 yang ada liputan wajibnya, kenapa gak dia pegang segmen 1, 2 dan 3. Lalu Joan pegang segmen 4, 5 dan 6. Tapi Ucok tetap bersikeras, pembagiannya seperti itu. Joan segmen 1, 2 dan 6, sementara Ucok segmen 3, 4 dan 5. Merasa akan percuma jika perdebatan dilanjutkan, lagipula waktu terus berjalan dan deadline makin dekat, maka Joan pun mengerjakan bagiannya. Begitu pula Ucok.

(btw nih, buat tambahan informasi. Segmen 4 dan 5, sama seperti segmen 3, biasanya sih hanya berita rerun dari program sebelumnya)

Itu dia pegnya. Sekarang lanjut kita bahas pemahaman soal cowok vs pria menurut gw.

Sebagai seorang laki-laki, sosok Ucok cowok abis. Mukanya kotak, garis wajah tegas, di sejumlah bagian badan ada tattonya. Hobinya pun masuk kategori extreme sport. Surfing.

Dengan gambaran yang ada pada dirinya, gw sih berharap, Ucok bisa lebih fair pada Joan. Atau bahkan berkorban. Dia cowok gitu lho. Bukannya laki-laki merasa bangga jika bisa lebih berguna buat perempuan. Kalau gw sih diajarinnya gitu. Entah Ucok. Kayaknya sih nggak.

Tapi kisah ini mengajarkan gw, bahwa cowok ternyata adalah hanya jenis kelamin. Sementara pria adalah sebuah identitas. Karakter atau sikap yang kemudian melahirkan tanggung jawab yang lebih. Karena pada akhirnya, seorang cowok belum tentu jadi pria, sedangkan pria pasti cowok.

***

Selain curhatan Joan soal Ucok, obrolan dua orang teman gw, Nana dan Lily juga menarik perhatian gw untuk dikomentarin.

Obrolan bermula saat Nana curhat ke Lily lewat telepon. Nana cerita soal pacarnya yang cemburu pada teman laki-lakinya yang bernama Bastian. Di balik telepon Lily bilang, yaelah kenapa juga pacar lo mesti cemburu sama Bastian, dia kan kayak “pere”. Keduanya lalu tertawa.

Gw tertarik sama obrolan ini karena kebetulan gw cukup kenal sosok Bastian. Dia teman gw dari masih muda dulu. Gw sendiri mulai mengenal sosok Bastian lewat cerita-cerita kehidupannya yang biasa dia ceritain ke gw.

Bastian satu ketika bercerita, bahwa dia pernah kabur dari jadwal tawuran sekolahnya demi nonton episode terakhir telenovela Esmeralda. Sontak semua orang yang dengar saat itu langsung komentar, edan lo ya sampai segitunya. Sebagian dari mereka lalu berpikir, cowok bisa segitu belainnya nonton Esmeralda. Dan dengan semua respon itu, Bastian hanya tersenyum. Lalu ikut menertawakan dirinya.

Bastian pun kemudian memilih tidak melanjutkan ceritanya, kisah bahwa satu jadwal tawuran yang dia hindari itu hanyalah sebuah kejadian dari belasan tawuran yang dia telah ikuti sebelumnya. Serta kisah di mana lebih dari puluhan tawuran yang telah berhasil ia hindari untuk terjadi. Bagaimana caranya?, jadi dulu waktu masih SMA sepulang sekolah Bastian sering tidak langsung pulang ke rumah. Dia sering terlebih dahulu main ke tempat dingdong. Dengan console game yang dimilikinya di rumah, Bastian sebenarnya tak tertarik main dingdong di sana. Ia lebih memilih bermain jackpot atau judi koin. Nah pada saat itulah ia kemudian berkenalan dengan sejumlah “pentolan” dari sekolah-sekolah yang menjadi musuh sekolahnya. Ia juga berteman dengan “jagoan kampung” di sekitar sekolahnya, umumnya mereka berprofesi sebagai “timer” angkot. Karena hubungan itulah, Bastian yang kala SMA kerap berangkat-pulang naik bus dan selalu berdiri di pintu belakang, bisa menghindari tawuran hingga tak terlampau sering. Itu semua karena hubungan pertemanan yang ia bangun secara tak sengaja di tempat dingdong. Basisnya, Auri-Simpang Depok pun jadi rute sekolahnya yang paling aman.

*

Berbeda dengan Ucok yang hobi extreme sport. Bastian justru suka masak. Nah ngomongin soal makanan ada yang menarik nih.

Mungkin tak banyak yang tahu ritual Bastian selama ini. Bahwa hampir tiap malam menjelang pulang kerja Bastian selalu menelpon istrinya. Bastian selalu bertanya apakah istrinya lapar? Lalu pertanyaan selanjutnya apakah di rumah ada makanan?. Konsekuensi dari dua pertanyaan itu adalah jika istrinya lapar dan tidak ada makanan maka Bastian harus memutuskan untuk membeli makanan atau memasak makanan setibanya ia di rumah. Tapi apa pun pilihannya, yang selanjutnya terjadi adalah Bastian akan makan malam sepiring berdua dengan istrinya. Bastian memanfaatkan betul momen makan bersama itu untuk menjalin komunikasi secara lebih intens. Sebab bagi Bastian, komunikasi memiliki peran sangat penting dalam sebuah hubungan.

*

Pada satu kesempatan lain Bastian bercerita bahwa dari pengalamannya, ia mengenal dua jenis laki-laki. Pertama laki-laki yang mengibaratkan perempuannya sebagai sebuah boneka, sementara yang kedua mengibaratkan perempuannya sebagai kaktus atau tumbuhan hidup lainnya.

Jenis laki-laki pertama adalah mereka yang sebenarnya hanya tidak ingin kehilangan apa yang telah dimilikinya. Boneka adalah simbol trophy buat mereka. Meski tak terlampau menyukainya, tapi mereka juga tak ingin ada yang mengambilnya. Jadilah si boneka hanya diletakan di lemari saja dengan sedikit perhatian yang diberikan. Dilihat atau dimainkan hanya sesekali saja. Laki-laki jenis ini suka sekali menggunakan kata “jangan”, seperti jangan sentuh, jangan ambil, dsb. Padahal kata “jangan” menurut psikolog tak bagus untuk kejiwaan. Makanya dianjurkan untuk meminimalkan kata “jangan” pada anak.

Jenis laki-laki kedua adalah mereka yang tahu betul, jika tak dirawat, maka tanaman yang mereka miliki akan mati. Sedangkan jika dirawat, selain membuat tanaman tetap hidup, jika nutrisinya cocok bahkan bisa membuat tanaman tumbuh kian besar. Karena rasa sifatnya tak mutlak, bisa konstan juga dinamis, mengecil atau membesar.

Berbeda dengan jenis laki-laki pertama yang suka bilang "jangan", jenis kedua lebih suka bilang "ayo", karena lebih menginisiasi. Mempertahankan bukan dengan melarang tapi mengajak sambil membuktikan bahwa ia tetap sebagai pilihan yang lebih baik. Jadi tak ada kalimat "jangan" pergi dengan dia, tapi pilihannya menjadi "ayo" ikut pergi dengan aku.

Entah dari mana Bastian belajar soal semua itu. Prediksi gw sih, Bastian dapat pelajaran itu dari telenovela Esmeralda yang ia bela-belain nonton, meski harus dicariin teman satu sekolahnya sore itu. Bastian selalu bilang, nggak ada satu pun wawasan yang nggak berguna. Makin bervariasi wawasan yang kita punya, tentunya akan jadi lebih baik.

Itu adalah sedikit kisah Bastian yang gw tahu. Mungkin masih banyak lagi kisahnya yang lain. Nanti deh kalau ketemu gw akan minta Bastian ceritakan kisahnya yang berbeda.

Untuk Nana dan Lily, jika mereka membaca sedikit kisah ini, seperti apa ya reaksi mereka?. Apakah keduanya masih akan menganggap Bastian kayak “pere” atau mungkin bisa mengubah penilaian mereka akan sosok seorang Bastian.

Bastian pernah bilang ke gw, kalau dia pada dasarnya cuma pengen jadi laki-laki yang asik aja. Mungkin akhirnya jadi keliatan berbeda kalau faktanya laki-laki kayak gitu ternyata jarang ada. Buat Bastian, bahagia aja gak cukup. Buat dia hidup yang ia jalani harus bahagia dan fun.

To be continued.

(Teaser: Bastian gak selalu kelihatan asik kok, banyak juga kisah ngeselin dan nakalnya, karena selain Esmeralda, Bastian juga suka serial F.R.I.E.N.D.S dan film Cruel Intention.)

Inspired by: Joan - Ucok & Nana - Lily

Minggu, 05 Juni 2016

Hujan pertama di bulan Juni

Arie menutup kedua lubang hidungnya. Ia tidak suka bau carbol rumah sakit. Aroma yang meski harum, namun mampu membuat indera penciumannya itu terluka. Bau yang jika ia hirup terlampau dalam, membuat dadanya sesak. Perih sekali. Beberapa kali bahkan membuatnya harus hilang kesadaran. Pingsan hingga berhari-hari.

Hanya bau perfume vanilla milik Diana saja yang membuatnya mampu kembali tersadar. Tapi sekarang ia tak boleh pingsan lagi. Perfume itu sudah habis ia hirup demi menjaga asanya selama dua tahun belakangan ini. Sial pikirnya. Tahu gitu dulu ia tanya dimana Diana membelinya.

Matanya sempat terpejam. Lalu kembali terjaga. Ia paksakan kedua bola matanya itu untuk terus berkedip. Fokusnya hanya pada sosok wanita yang saat ini sedang terbaring di tempat tidur. Dokter bilang, ia akan segera siuman. Bangkit dari tidur panjangnya. Arie lalu mencoba mengingat, apakah ia menciumnya sehari yang lalu?. Jika tidak, bagaimana mungkin si putri tidurnya itu tersadar.

Tekad kuat Arie ternyata tak mampu membendung raganya yang sudah lelah. Matanya sedikit demi sedikit menutup. Dan tak sampai hitungan kelima, ia sudah terlelap. Masuk ke dunia mimpinya.

Ia kembali pada memorinya dua tahun yang lalu.

Saat itu pikirannya sedang sumpek. Capek dengan segala permasalahan yang ada di kantornya. Mulai dari bos yang brengsek, teman kantor yang suka menjilat, sampai sahabatnya yang berkhianat. Menjelek-jelekannya kepada semua orang yang ada di kantor. Ia bilang Arie pencuri. Entah sudah berapa rupiah uang perusahaan yang masuk ke rekening pribadinya. Hampir seluruh rekan kerjanya di kantor percaya fitnah itu. Di mata mereka kini tak ada lagi Arie si ramah. Si rajin. Si baik. Cap buatnya hanya satu. Arie si penipu. Pencuri uang perusahaan.

Bagi Arie, hiburannya kini hanya satu. Rumah. Tempat ia bisa berkeluh kesah. Pada Diana. Cintanya.

Namun entah kenapa, menurut Arie, Diana sudah berubah. Tak seperti dulu. Tidak lagi mau jadi seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Wanita yang selalu menurut atas apa pun keinginan dan perintahnya. Diana yang sekarang lebih cuek. Acuh tak acuh pada dirinya.

Jika dirunut, kelakuan aneh Diana itu sudah terjadi sejak tiga bulan yang lalu. Saat dia mulai rajin duduk di teras rumah. Menunggu kehadiran pak pos. Orang yang setiap seminggu dua kali mengirimkan surat ke rumah. Dan semuanya untuk Diana.

Iseng-iseng Arie coba melihat isi surat untuk Diana. Hal yang ia tahu sebenarnya tak boleh dilakukan. Tindakan yang ia sadari telah merebut ruang privasi istrinya. Tindakan yang Diana pasti tak pernah lakukan atas apa pun barang pribadi miliknya. Termasuk pada buku harian usangnya yang berwarna hijau tua. Buku harian yang ia simpan rapat-rapat di bawah lemari bajunya. Buku yang berisi daftar wanita yang pernah ia cintai. Termasuk juga puisi-puisi rahasianya.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Ia sudah kepalang penasaran.

Diambilnya sepucuk surat. Pengirimnya adalah Tyo. Mantan pacar Diana. Cinta pertamanya.

Pikiran Arie kian kalut. Rumah yang sebelumnya ia jadikan benteng terakhirnya dalam mencari ketenangan mendadak runtuh. Hatinya hancur. Diana mengkhianatinya. Pantas saja sekarang dia tak diperhatikan. Tak dianggap. Diana lebih sering bersama surat-suratnya itu, dibandingkan berbincang dengannya.

Diana terkejut saat ia dapati Arie sedang membongkar barang pribadinya.

Tertangkap tangan tak lantas membuat Arie menyesal. Amarah membuatnya melupakan kata maaf yang seharusnya ia ucapkan. Ia justru marah. Seribu kata kasar lalu meluncur dari mulutnya. Mulai dari istri tak tahu diri. Pengkhianat. Dan lainnya.

Sebuah tamparan di pipi Diana menjadi penutup amarah Arie sore itu. Tamparan yang saking kencangnya membuat tubuh Diana terhempas. Kepalanya sempat membentur ujung tempat tidur sebelum akhirnya tersungkur di lantai kamar. Diana tak sadarkan diri.

Suara hujan di luar rumah menyamarkan kekerasan yang baru saja Arie lakukan. Menyembunyikan dari tetangganya.

Hujan pertama di bulan juni itu pula yang kelak akan menjadi pengingat baginya. Momen dimana ia kehilangan istrinya. Bukan secara harfiah tentu saja.

***

Arie membuka matanya. Perlahan ia mulai kumpulkan kembali kesadarannya. Ia terperanjat saat mendapati tubuh Diana tak ada di tempat tidur. Ia kaget setengah mati. Digerakannya bola matanya itu ke kanan dan ke kiri. Namun tidak ada juga sosok Diana.

“Mas.” Ia mendengar sebuah suara dari arah belakang tubuhnya. Suara yang ia kenal betul. Suara istrinya. Diana.

“Ya.”

“Aku disini Mas.” kata Diana pelan.

Arie membalik tubuhnya. Ia melihat Diana sedang duduk membelakanginya. Menatap ke jendela. Melihat hujan sedang menyirami bunga-bunga di pekarangan belakang rumah sakit.

“Maafkan aku Diana.” ucap Arie mengiba.

 “Aku waktu itu panik. Aku termakan amarah.”

“Gak apa-apa mas.” jawab Diana. Suaranya datar. Tak seperti orang yang memaafkan. Lebih kepada wanita yang tak mau urusannya jadi panjang.

“Aku sudah baca seluruh surat itu. Maaf aku sudah salah sangka.”

“Iya Mas.” jawab Diana masih datar. Namun kali ini terasa ada intonasi kemarahan dalam suara singkatnya itu.

“Bulan lalu Tyo akhirnya meninggal. Ini surat terakhirnya untukmu.” Arie mendekat, lalu menyerahkan sebuah surat dengan amplop putih dari balik saku celananya.

Diana menerimanya.

“Ayo kita pulang mas.”

***

Sejak masuk mobil hingga sampai di rumah, Diana belum mengucapkan satu patah kata pun. Arie juga tidak berusaha menegurnya. Ia memberinya ruang untuk sendiri.

Diana belum mau masuk ke dalam rumah. Ia memohon untuk dibiarkan duduk di teras. Arie pun membiarkannya menyendiri disana. Sementara ia mulai merapihkan kamarnya. Kamar yang punya sejuta cerita untuk dirinya dan Diana. Termasuk kisah tragis itu. Juga kisah-kisah selanjutnya.

Arie mulai mengingatnya. Saat ia membaca lembar demi lembar surat milik Diana.

Dimulai saat Tyo bercerita bahwa ia terkena Leukimia. Usianya tak lebih dari enam bulan lagi. Ia menyatakan permohonan maaf untuk Diana. Maaf atas apa yang telah ia lakukan padanya. Meninggalkannya demi seorang pramugari muda yang ia temui saat pulang dinas dari Atambua.

Tyo mendoakan agar hubungannya dengan Arie langgeng. Jangan sampai Diana di kemudian hari termakan rayuan pria nakal seperti dirinya. Diana mengamininya. Ia berterima kasih pada Tyo yang telah mengingatkannya.

Diana kemudian bercerita bahwa ada seorang pria yang sedang mengganggunya, tapi ia tak memperdulikannya. Fokusnya hanya pada Arie. Ia tahu Arie sedang kesulitan di kantornya. Ia ingin menceritakan tentang pria itu pada Arie, namun takut justru akan jadi tambahan beban buat Arie. Maka ia urung menceritakannya. Tyo bilang langkah itu sudah tepat.

Tyo punya satu permohonan ke Diana. Tyo ingin Diana membantu masalah hak warisnya. Ia ingin memastikan 75 persen hartanya jatuh ke Tyas, anaknya. Sisanya baru dibagi rata antara istri dan adik-adiknya. Diana pun menyanggupinya.

***

Mata Diana lurus menatap ke depan. Tepat di hadapannya sekelompok anak kecil sedang bermain hujan-hujanan. Namun fokusnya bukan kesitu. Pikiran Diana sedang menyusuri lorong waktu. Kembali di saat sebuah tamparan keras menghantam pipinya.

Dalam sepersekian detik sebelum kepalanya membentur ujung tempat tidur, banyak sekali kenangan yang meluncur bebas di pikirannya. Salah satunya saat Arie melamarnya. Mendatangi ibunya. Ia berjanji akan membahagiakan Diana. Tak akan pernah menyakitinya. Baik hati maupun fisiknya.

Tetes air mata meluncur saling bersusulan dari kedua mata Diana. Seolah sedang balapan dan ada pada lap terakhir, keduanya tak mau kalah. Kedua pipi Diana pun basah air mata. Tapi ia sengaja tak menyekanya. Diana membiarkan sensasi kesedihan menyelimuti dirinya. Sementara itu, sebuah surat terakhir dari Tyo masih digenggam erat di tangan kanannya.

Ia memberanikan diri membukanya. Diana takut Tyo marah padanya. Marah karena tak pernah lagi membalas surat dari Tyo sejak kejadian itu.

Diana membaca surat terakhir dari Tyo.

Dear Diana,


Menanti kabar darimu menjadi siksa sekaligus obat bagiku. Siksa karena batinku tak tenang. Obat karena vonis dokter yang bilang usiaku hanya tersisa enam bulan ternyata keliru. Aku bisa bertahan hidup hampir dua tahun. Aku menanti kabarmu Diana.


Oh iya, masalah hak waris sudah beres. Kau tak usah repot-repot membantunya. Pengacaraku sudah menyelesaikannya.


Diana, aku merasa usiaku sudah sampai ujungnya. Mungkin ini akan jadi surat terakhirku. Jadi dimana pun kau berada. Aku harap kau baik-baik saja.


Your friend, Tyo.

Air mata Diana kembali menetes. Namun kali ini bukan dari amarahnya, tapi dari rasa kehilangannya.

***

“Diana, ayo kita masuk. Sudah maghrib.” Arie membangunkan Diana dari lamunannya.

“Iya Mas.” jawab Diana datar.

Arie menggandengnya masuk ke dalam. Ia telah berhasil membawa pulang Diana kembali ke rumahnya. Tepat saat hujan pertama di bulan Juni, persis kala ia kehilanganya dahulu.

Namun Arie tahu, bahwa dia yg sudah pergi tak akan kembali lagi dalam wujud yang sama saat datang kembali. Arie siap dengan konsekuensinya. Ia sadar Diana tak akan kembali menjadi istrinya yang dulu.

Inspired by: Stop #KDRT

Jumat, 03 Juni 2016

Dear friend, are you already lost?

Tak pernah menyangka jika berbicara denganmu kini harus sesulit mendaki ceremai..
Tidak, bahkan lebih sulit..
24 jam sudah lebih dari cukup untuk mencapai puncak ceremai..
Tapi berbicara denganmu, butuh empat kali rotasi bumi.. Setidaknya, itu pun kalau tidak ada halangan.. Misalkan kau atau aku sedang pergi meninggalkan tugas..

Apakah masih bisa disebut hadir?, jika jarak yg ada di antara kita bukan hanya lagi dalam satuan tempuh, seperti meter, decimeter, centimeter atau milimeter, tapi juga satuan waktu, mulai dari detik, menit, jam bahkan hari..
Melihat sosokmu ibaratnya, mesti menembus ruang dan waktu terlebih dahulu..

Dengan segala kesulitan itu aku berharap masih bisa menjumpaimu.. menemui temanku.. bukan sekedar melihat seseorang yang hadir tanpa jiwanya yang bersahabat denganku..

Aku berharap matamu mampu menatap mataku lebih lama, layaknya sahabat yang merindu.. tak hanya sepersekian detik saja, karena merasa malu atau ragu..

Aku tak berharap hatimu tinggal di kotak yang sama dengan hatiku.. Tapi setidaknya bisa bermain bersama saat mereka bertemu.. Menari bersama, bernyanyi bersama, merasa bebas bercengkrama.. Bukankah gerak hati seorang sahabat, harusnya berdetak seiringan.. karena mereka saling merasakan..

Jiwa yang bersahabat, mata yang merindu dan detak yang seiringan, apakah mereka masih eksis kawan? Sebab jika tidak, aku rasa.. Aku telah kehilanganmu..

Ps: aku punya sejuta cerita baru yang belum aku ceritakan padamu. Sebab, belum ada waktu yang benar-benar kosong untuk menceritakannya. Waktu dimana, biasanya jiwaku yg berbicara padamu, bukan sekedar bibirku.. Ia hanyalah si pembawa pesan..

Aku merasa iba untuk mereka yang tidak mengerti cara bersahabat kita.. atau bahkan menghakiminya.. sebab aku tak yakin, apakah selama ini, mereka telah menemukan sahabatnya masing-masing.. ataukah mereka sebenarnya belum memiliki sahabat sejauh ini?

Psnya Ps: Hatiku berdetak kencang menulis ini, ia memanggilmu, berteriak.. Tapi kau tak mendengarnya.. Mungkin karena tidurmu terlalu lelap..

Kamis, 28 April 2016

Tujuh

by: Penyu

Scene 1 - Lentera

Kenapa ada derita, bila bahagia tercipta.
Kenapa ada sang hitam, jika putih menyenangkan.

Hanya sampai situ aku menyimak syair ciptaan eross itu. Selanjutnya lirik lagu terus mengalun dibawakan Duta sang vokalis dari balik speaker kecil yang terhubung dengan PC kotak ‘jadul’ berwarna putih. Sementara pikiranku masih pada dua bait tadi. Coba meresapinya. Memecahkan misteri yang terkandung dalam bahasanya. Sulit buatku, seorang gadis dengan usia yang baru seperempat abad lebih sedikit mengerti arti ikhlas. Merelakan. Dan lalu melupakannya.

Belum juga aku berhasil memecahkan misteri dua bait tadi. Mas Surya, seniorku tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Menatapku sekilas, lalu melangkah menuju sebuah lemari tua yang ada di samping kananku. Menarik lacinya satu persatu. Hingga laci keempat yang paling bawah.

“Cari apa mas?” tanyaku mau tahu.

“Dokumen tua. Nggak penting”

“Jadi kapan kamu bisa berangkat ke Manila?” ganti ia bertanya.

“Secepatnya. Tinggal seorang lagi. Yang ke tujuh. Aku belum bisa menemukannya.”

“Masih kamu dengan rencana itu?”

“Iya.” Jawabku mantap.

“Memangnya kamu mencintainya? Kamu kan tahu itu semua hanya tugas.”

“Mencintainya? Hmm, entahlah mas. Ngomong-ngomong, aku akan secepatnya menyusul ke Manila. Tapi kamu janji ya mas bantu selesaikan urusanku di Jakarta.”

“Hmm, gak janji ya. Btw pokoknya selesai nggak selesai kamu dengan urusanmu itu, minggu depan kamu harus sudah ada disana, aku gak mau tahu.” Nada mas Surya sedikit keras. Seperti sebuah perintah.

Mas Surya menutup keras-keras pintu lemari dorong yang penuh berkas berdebu itu. Ia lalu bergegas pergi, membawa sebuah map bertuliskan “Dokumen BRANI 1948”.

“Siap Mas.” Jawabku. Hanya untuk menyenangkan hatinya.

***

Hidup sebagai anak perempuan satu-satunya, dari bapak seorang dokter gigi dan ibu seorang guru taman kanak-kanak membuatku tak hanya memiliki gigi yang rapih berwarna putih cemerlang, tapi juga diselimuti banyak kasih sayang. Puluhan boneka menjadi peneman tidurku semasa kecil. Bersama sepasang bantal dan guling usang yang berwarna kuning kecoklatan.

Tapi keindahan itu tak berlangsung lama. Bapak dan Ibuku mati muda. Tewas akibat mobil yang dikendarainya dihantam sebuah truk yang dikendarai seorang pemabuk di tol cikampek.

Setelah kematian mereka, aku yang masih berusia delapan tahun harus tinggal bersama adik bapakku. Seorang tentara yang kala itu berpangkat Mayor.

Sejak saat itu tak ada lagi boneka. Waktu senggangku diisi dengan membersihkan bayonet miliknya. Tak ada lagi les balet. Tapi berganti Taekwondo dan Tapak Suci. Semua kuambil sekaligus. Latihannya empat kali seminggu.

***

Handphoneku berbunyi. Di layarnya muncul sebuah nama. Baskara.

"Hallo Lentera." Ia menyapaku.

"Hallo mas."




Scene 2 - ½ Lesung pipi

Sebulan sebelumnya.

Sepoi angin semilir meraba kulitku. Membelaiku dengan dingin. Ia sengaja kubiarkan masuk lewat jendela mobil yang terbuka. Aku suka derai angin ditambah bau tanah yang telah disiram hujan. Rasanya sejuk sekali. Apalagi ada kamu di sampingku. Indah rasanya dunia.

“Kok keliatannya sedih? Ada apa?” Pertanyaan pertamaku memecah kesunyian. Tak biasanya dia diam lebih dari 10 menit di dalam mobil.

Ia tersenyum, lalu menggelengkan kepala. “Gak ada apa-apa.”

“Mahasiswa kamu nakal-nakal?” Tanyaku bercanda.

“Nggak kok. Cuma capek aja.”

“Owh..” Aku tak percaya.

Laju ban membelah genangan air sisa hujan sore tadi. Deru mobil sengaja kuperlambat. Aku masih ingin berlama-lama menikmati momen berdua bersamanya.

“Oh iya Lentera. Jadi mana yang lebih kamu suka, mawar putih atau merah buat dekorasi pesta kita nanti?”

“Merah.”

“Aku mau tanya deh. Kita kan sudah hampir dua tahun pacaran, tapi kenapa kamu masih suka panggil aku pakai nama. Pasangan lain pasti sudah punya panggilan kesayangan.” Tanyanya serius.

“Nama panggilan kayak apa? Beib, Say, Yank? Nggak bagus. Aku lebih suka nama asli kamu. Lentera. Maknanya dalam. Terkesan seperti sebuah harapan.”

Dia tersenyum. Senang.

Hujan mulai kembali turun. Masih gerimis, tapi ada tanda-tanda akan semakin deras. Jendela mobil kembali aku tutup. Tak ada lagi celah bagi angin untuk bercengkrama denganku. Berkali-kali ia mengetuk jendela agar diijinkan masuk. Agar bisa berlindung dihangatnya kulitku. Tapi tak kuijinkan.

Perhatianku pada angin lalu terdestruksi oleh pertanyaan Lentera.

 “Aku mau tanya.”

“Apa?”

“Kalau aku tiba-tiba sakit. Terus meninggal. Kamu terus disuruh pilih perempuan lain. Kamu mau pilih siapa?”

“Kok ngomongnya gitu?” Aku tak suka dengan pertanyaannya.

“Iseng aja. Ayo dong jawab.”

“Ngga adalah. Aku cuma suka kamu.”

“Boong. Gombal. Ayo jawab, seriusan ini nanya.”

“Asli nggak ada.”

“Nggak mau. Harus jawab.”

“Oke-oke. Kalau memang harus jawab, aku mau perempuan yang gantiin kamu harus seratus persen mirip kamu. Wajahnya. Sifatnya. Semuanya. Puas?. Pasti nggak ada kan.”

“Hmm, nggak tau deh. Ada kali.”

“Kalau nggak mirip aku, tapi Chelsea Islan gimana?”

“Hmm, boleh juga sih.” Aku menjawab tak serius sambil tertawa.

“Ihh, genit. Awas ya.” Ia tertawa sambil mencubitku manja.

***

Hujan semakin deras. Dalam kacaunya prosesi ia menuju bumi aku tak lagi menemukan dimana angin. Mungkin ia sedang terombang-ambing oleh serangan bulir-bulir air yang terjun dari atas langit pikirku. Sambil menunggu pesanan big mac kami di Mcstop aku buka sedikit jendela mobil. Dan entah dari mana datangnya, angin kembali masuk. Ia langsung bersembunyi di balik lenganku. Berlindung. Minta jangan dikeluarkan. Ia ketakutan, menggigil karena dingin.

“Oh iya, apa yang membuat kamu tertarik sama aku? Aku kan nggak cantik. Biasa aja.” Pertanyaannya membuatku kikuk.

“Semuanya.”

“Sebutin satu yang paling menarik perhatian kamu?

“Lesung pipi kamu. Sama kayak aku. Cuma setengah. Kamu dibagian kiri. Aku di kanan.”

“Iya yah, nggak kayak kebanyakan orang yang lesung pipinya ada di dua-dua pipinya. Kita cuma ada di satu bagian aja. Beda.”

“kita unik tahu.” Kataku memberi semangat.

"Dan satu lagi. Kamu gak biasa. Kamu cantik. Pakai banget."

Ia tersenyum, lalu melingkarkan tangan kanannya di lengan kiriku. Merebahkan kepalanya di bahuku. Menggusur angin yang sebelumnya bersembunyi disana.




Scene 3 - Tugas Khusus

Handphoneku berbunyi. Di layarnya muncul sebuah nama. Baskara.

“Hallo Lentera.” Ia menyapaku.

“Hallo Mas.”

***

“Iya. Dua jam lagi aku udah bisa pulang. Oke. Aku tunggu ya.”

Sudah jadi ritual bagi Baskara. Seperti biasa, setiap hari kerja Ia selalu menjemputku di kampus. Jam enam sore. Sengaja aku pilih waktu itu, sebab seperti kantor pemerintah lainnya jam kerja kami habis di pukul empat sore. Normalnya. Mengapa aku katakan demikian, berbeda dengan kantor pemerintah lainnya, kantorku sebenarnya tak menerapkan jam pulang itu. Waktu kerja kami justru tak jelas.
Jeda dua jam biasanya aku manfaatkan untuk beres-beres lalu pergi menuju kampus. Tempat Baskara mengira aku bekerja. Menjadi dosen untuk mata kuliah Statistika di jurusan ekonomi salah satu universitas swasta besar di Jakarta.

“Udah mau ke kampus kamu Dik?” Mas Arie menyapaku saat ia masuk ke dalam ruangan dengan sebundel dokumen.

“Iya Mas.”

“Duduk sebentar ya. Aku mau ngomong.” Atas permintaannya mau tak mau aku kembali duduk. Meletakan kembali tas yang sebelumnya telah melingkar di tangan kananku.

“Ini dokumen-dokumen yang mesti kamu bawa minggu depan ke Manila. Surya bilang kamu sudah ready minggu depan.”

“Hah?!” Aku kaget. Tak menyangka mas Surya langsung melapor ke Mas Arie untuk menyiapkan segala perlengkapanku ke Manila.

“Ini Paspor, atas nama Cecilia Oh. Mahasiswi asal Jakarta”

“Ini tiket pesawat Garuda untuk keberangkatan Rabu 13 April. Pukul 14.15. Ingat jadwal keberangkatan kamu itu. Jangan sampai salah jadwal”

“Dan ini uang cash 350 ribu peso. Semua aku jadiin satu di sini ya.” Mas Arie memasukan kembali semua barang yang ia sebutkan tadi ke dalam map coklat yang telah ia bawa sebelumnya. Ia lalu meletakannya di atas mejaku.

“Hmm, tapi mas. Alasan apa yang harus aku pakai nanti jika aku tiba-tiba menghilang begitu saja. Baskara pasti akan mencari aku kemana-kemana. Bisa jadi nanti penyamaranku justru terbongkar.” Aku berargumen supaya tak pergi. Setidaknya tidak minggu depan. Meski aku tahu, mereka pasti sudah punya rencana matang atas menghilangnya aku.

“Sudahlah. Untuk itu kamu gak usah mikirin. Kamu siap-siap saja. Biar itu kita-kita disini yang mikirin. Pokoknya kamu tahu beres.” Jawab Mas Arie santai.

“Oh iya, untuk detail tugas kamu disana nanti, akan kita kirim ke alamat email yang biasa. Password nanti kamu minta sama Nadia.” Setelah menyelesaikan kalimatnya, mas Arie lalu melengos pergi keluar dari ruangan. Sementara kakiku tak lagi dapat berdiri. Aku hilang tenaga. Aku belum siap menghadapi kenyataan bahwa ini adalah minggu terakhirku bersama Baskara.




Scene 4 - Sosok Penting

Kilatan cahaya saling susul. Menarget objek yang terus bergerak. Berpose demi mencari posisi terbaik untuk mengeksploitasi tubuhnya. Si fotografer juga sama. Tubuhnya ia buat berputar. Kadang mesti naik turun, berusaha menemukan angle yang paling mumpuni. Membuat perspektif yang mampu menjadikan gadis tak kurus tampak langsing. Pipi chubby jadi tirus. Hidung pesek kelihatan mancung.

Bekerja sendiri membuat si fotografer harus sibuk merapihkan letak posisi softbox dan reflektor sembari memfoto modelnya. Ia ingin menyulap kulit modelnya yang sawo matang jadi putih seperti porselen. Setidaknya itulah permintaan sang model.

Sejam lebih aku menunggu Baskara menyelesaikan pekerjaannya. Mengamati bagaimana ia memperagakan keahliannya.

Sebagai anak dan cucu dari seorang perwira tentara, harusnya dengan mudah ia bisa berkarir di militer. Apalagi tubuhnya tegap dan tidak buta warna. Namun ia tak mau. Minatnya pada fotografi sejak kecil terlampau besar. Minat itu pulalah yang kini mengantar Baskara menjadi fotografer handal. Bayarannya 10 juta rupiah untuk satu sesi foto selama satu jam.

Pertama kali aku mengenal Baskara adalah saat menghadiri resepsi pernikahan anak teman Om Riyanto, adik bapakku. Baskara adalah fotografer kedua mempelai. Bukan perjumpaan yang tak disengaja tentunya. Semua telah diatur. Demi kepentingan negara.

Baskara tak pernah menyadari bahwa ia merupakan sosok penting saat ini. Informasi darinya bernilai tinggi. Ia adalah aset negara yang harus dijaga. Setidaknya sampai misi kami sukses.

Munardi Sostrowidjoyo adalah sosok yang membuat Baskara jadi penting. Ia adalah Kakek Baskara, dari pihak ayahnya. Munardi merupakan salah seorang pendiri BRANI, badan intelijen negara Indonesia yang pertama. Namanya mungkin tak setenar Kolonel Zulkifli Lubis yang menjadi kepala lembaga itu. Namun Intelijen tetap Intelijen. Harus ada sosok yang tak masuk radar, bersedia tak dikenal, walau ia penting.

“Lentera.” Suara Baskara membuatku kembali terjaga dari bosan.

“Ngantuk ya?”

“Sedikit. Udah selesai?”

“Sudah.”

“Yuk.”

“Kemana?” Baskara tampak penasaran.

 Aku tersenyum. "Ada deh."




Scene 5 - Kota Angin

Aku pernah bertemu dengannya. Sekali. Saat itu aku melihatnya sedang duduk sendiri, membaca buku sambil mengunyah roti yang dibawanya. Ia menunggu giliran timnya bertanding. Beradu otak dalam sebuah pertandingan cerdas cermat antar sekolah dasar.

Ketenangannya mendadak terganggu saat dua anak laki-laki dari tim lain menjahili seorang anak perempuan berusia delapan tahun yang sedang melintas membawa seekor kucing belang berwarna campuran oranye dan hitam. Ia langsung berdiri, melempar buku yang sedang dibacanya ke jidat salah satu dari dua anak pengganggu tadi. Kemudian memukul anak yang satunya lagi dan lalu memelototi keduanya. Kedua anak tadi lantas pergi dengan wajah kesal. Sementara ia datang menghampiri si bocah perempuan.

“Kamu gak apa-apa?” tanyanya sambil memberikan sisa rotinya pada kucing belang.

“Gak apa-apa.”

“Okay. Aku tinggal dulu ya.” Ia lalu pergi karena timnya dipanggil untuk segera bertanding.

Aku menonton lomba cerdas cermat yang diikutinya sampai selesai. Aku senang saat tahu timnya akan  masuk final. Wajahku takjub saat ia berhasil melahap hampir seluruh pertanyaan juri yang ditanyakan padanya. Menunjukan bagaimana kecerdasannya.

Sayang, laporan dua anak yang ia pukul tadi membuat timnya harus didiskualifikasi.

Aku menghampirinya. “Tim kamu kalah ya gara-gara tadi belain aku?”

“Gak apa-apa. Kan masih ada tahun depan. Aku bisa ikut lagi.” katamu sambil tersenyum.

“Kalau tahun depan ada anak nakal ganggu kayak tadi lagi gimana?” tanyaku.

“Ya aku lawan lagi kalau sampai kamu diganggu lagi.”

“Nanti jadi kalah lagi dong?”

“Gak apa-apa. Hidupkan bukan soal kalah dan menang saja. Masih banyak hal seru lainnya.”

Aku tersenyum mendengar jawabannya. Sejak saat itu aku menyukainya. Menjadi fans nomor satunya.

Aku tak tahu namanya. Tak sempat memperhatikannya tadi, tak sempat juga menanyakannya. Yang aku tahu ia memiliki lesung pipi di sebelah kanan pipinya. Hanya di kanan.

***

“Dah sampai mana nih kita?” tanyamu sambil mengucek mata dan membenarkan posisi duduk.

“Aku ketiduran ya?”

“Iya.”

“Majalengka. Sebentar lagi sampai kok tujuan kita.”

“Wow, Majalengka. Kota Angin.”

“Iya. Tahu. Makanya aku ajak kamu kesini.”

Kamu lalu membuka jendela mobil. Menghirup angin yang ada diluar dalam-dalam. Hingga paru-parumu penuh. Sebuah ritual bagi kamu. Menghirup dalam-dalam angin dari kota yang baru kamu singgahi.

“Maaf ya, jadi kamu yang nyetir.”

“Gak apa-apa. Kamu pasti capek habis seharian foto-foto.”

“Kenapa gak cari asisten sih?” Tanyaku.

“Beda sensasinya kalau ngerjain sendiri sama dibantuin orang.”

Udara dingin kian menusuk tulang. Sementara kabut yang turun mulai mengurangi jarak pandangku.

“Ini kita ke gunung ya? Aku gak bawa jaket lho.”

“Tenang aja. Semua perlengkapan sudah aku siapin di bagasi.”

Aku mulai melambatkan laju mobil. Membawanya menepi.

“Mobil kita cuma bisa sampai sini. Selanjutnya kita mesti jalan kaki buat nanjak ke atasnya.”

“Hah, serius?.” Kamu tampak khawatir.

“Iyalah. Serius.” Jawabku santai.

"Kamu pernah mendaki gunung cermai sebelumnya?"

"Belum."

Wajahmu pucat. Kamu menelan ludah mendengar jawabanku.

***

Hawa dingin membekap tubuh. Mengaktifkan senyawa hangat yang sebelumnya diam di bawah lemak kulit. Tapi angin terlalu dalam menusuk tulang. Hangat tubuh tak kuasa melawannya. Baskara yang biasanya bersahabat dengan angin pun kali ini merasakan deritanya. Tapi biarkan. Aku ingin ia belajar. Bahwa dia yang kita cintai, sesekali bisa juga menyakiti.

Malam kian dalam, pagi sebentar lagi datang. Mentari, ia bisa jadi juru selamat kami.

“Kamu dapat ide dari mana sih, kok tiba-tiba ngajak naik gunung?” Asap yang keluar dari mulut Baskara lumayan menghangatkan mukaku.

“Kamu gak bosan apa foto cewek-cewek cantik terus? Sekali-kali foto alam dong.”

“Alam? Mbah dukun?” Tanyamu menggoda.

“Ih, apa sih. Jayus tau.” Jawabku cemberut.

“Btw, itu alasannya?”

“Iya. Aku pengen kamu coba sesuatu yang baru aja.”

“Tapi foto alam uangnya gak sebanyak foto model.”

“Iya gak apa-apa. Sesekali. Buat fun aja.”

“Oke.” Kamu tersenyum. Merangkul tanganku.

Aku diam.

“Sebenarnya, aku hanya ingin kamu punya pengalaman yang bisa benar-benar kamu kenang bersamaku Baskara. Jika nanti aku pergi.” Ucapku dalam hati. Sembari memandang wajahnya lekat.

***

Cahaya tipis segaris mulai tampak di langit. Kami pun mulai jauh meninggalkan pos pendakian pertama. Sejumlah ladang sayur petani telah kami lewati tadi.

Selepas ladang sayur, udara kian sejuk karena tingginya vegetasi di jalur pendakian pertama. Daun-daun kering basah bergerisik di sepanjang jalur setapak. Bau tanah basah, daun-daun segar, embun dan kehangatan sinar mentari yang baru mulai mengintip dari balik pucuk-pucuk pohon menyegarkan nafas kami.

Perjalanan di jalur pendakian pertama ini relatif santai, karena medannya tidak terlampau terjal. Sesekali bahkan terdapat sejumlah jalur datar. Kicauan burung mengiringi langkah kami yang akhirnya tiba di pos pendakian kedua, simpang lima. Ketinggiannya 1908 mdpl. Saat kami tiba disana setidaknya telah terdapat tiga tenda berkapasitas empat orang yang telah didirikan. Dua berwarna kuning dan yang satu berwarna oranye. Seorang pendaki yang sedang menyeduh teh di depan tendanya yang berwarna oranye menyapa kami. Menyuruh kami mampir sejenak. Ikut menikmati teh hangatnya.

Aku meminumnya perlahan. Menikmati sensasi hangatnya membasahi kerongkonganku yang kering. Sementara kamu telah sibuk dengan kameramu. Bahagia sekali. Seperti saat kamu berhasil menjawab satu persatu pertanyaan yang juri berikan dalam lomba cerdas cermatmu dahulu. Senyummu begitu merekah. Dadamu mengembang.

***

To be continued lagi.