Hanya bau perfume vanilla milik Diana saja yang membuatnya mampu kembali tersadar. Tapi sekarang ia tak boleh pingsan lagi. Perfume itu sudah habis ia hirup demi menjaga asanya selama dua tahun belakangan ini. Sial pikirnya. Tahu gitu dulu ia tanya dimana Diana membelinya.
Matanya sempat terpejam. Lalu kembali terjaga. Ia paksakan
kedua bola matanya itu untuk terus berkedip. Fokusnya hanya pada sosok wanita
yang saat ini sedang terbaring di tempat tidur. Dokter bilang, ia akan segera
siuman. Bangkit dari tidur panjangnya. Arie lalu mencoba mengingat, apakah ia
menciumnya sehari yang lalu?. Jika tidak, bagaimana mungkin si putri tidurnya
itu tersadar.
Tekad kuat Arie ternyata tak mampu membendung raganya yang
sudah lelah. Matanya sedikit demi sedikit menutup. Dan tak sampai hitungan
kelima, ia sudah terlelap. Masuk ke dunia mimpinya.
Ia kembali pada memorinya dua tahun yang lalu.
Saat itu pikirannya sedang sumpek. Capek dengan segala
permasalahan yang ada di kantornya. Mulai dari bos yang brengsek, teman
kantor yang suka menjilat, sampai sahabatnya yang berkhianat.
Menjelek-jelekannya kepada semua orang yang ada di kantor. Ia bilang Arie
pencuri. Entah sudah berapa rupiah uang perusahaan yang masuk ke rekening
pribadinya. Hampir seluruh rekan kerjanya di kantor percaya fitnah itu. Di mata
mereka kini tak ada lagi Arie si ramah. Si rajin. Si baik. Cap buatnya hanya
satu. Arie si penipu. Pencuri uang perusahaan.
Bagi Arie, hiburannya kini hanya satu. Rumah. Tempat ia bisa
berkeluh kesah. Pada Diana. Cintanya.
Namun entah kenapa, menurut Arie, Diana sudah berubah. Tak
seperti dulu. Tidak lagi mau jadi seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Wanita yang selalu
menurut atas apa pun keinginan dan perintahnya. Diana yang sekarang lebih cuek.
Acuh tak acuh pada dirinya.
Jika dirunut, kelakuan aneh Diana itu sudah terjadi
sejak tiga bulan yang lalu. Saat dia mulai rajin duduk di teras rumah. Menunggu
kehadiran pak pos. Orang yang setiap seminggu dua kali mengirimkan surat ke
rumah. Dan semuanya untuk Diana.
Iseng-iseng Arie coba melihat isi surat untuk Diana. Hal yang ia tahu sebenarnya tak boleh dilakukan. Tindakan yang ia sadari telah merebut
ruang privasi istrinya. Tindakan yang Diana pasti tak pernah lakukan atas apa pun
barang pribadi miliknya. Termasuk pada buku harian usangnya yang berwarna hijau
tua. Buku harian yang ia simpan rapat-rapat di bawah lemari bajunya. Buku yang
berisi daftar wanita yang pernah ia cintai. Termasuk juga puisi-puisi
rahasianya.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Ia sudah kepalang penasaran.
Diambilnya sepucuk surat. Pengirimnya
adalah Tyo. Mantan pacar Diana. Cinta pertamanya.
Pikiran Arie kian kalut. Rumah yang sebelumnya ia jadikan
benteng terakhirnya dalam mencari ketenangan mendadak runtuh. Hatinya hancur.
Diana mengkhianatinya. Pantas saja sekarang dia tak diperhatikan. Tak dianggap.
Diana lebih sering bersama surat-suratnya itu, dibandingkan berbincang
dengannya.
Diana terkejut saat ia dapati Arie sedang membongkar barang
pribadinya.
Tertangkap tangan tak lantas membuat Arie menyesal. Amarah membuatnya melupakan kata
maaf yang seharusnya ia ucapkan. Ia justru marah. Seribu kata kasar lalu
meluncur dari mulutnya. Mulai dari istri tak tahu diri. Pengkhianat. Dan
lainnya.
Sebuah tamparan di pipi Diana menjadi penutup amarah Arie sore itu. Tamparan yang saking kencangnya membuat tubuh Diana terhempas. Kepalanya sempat membentur ujung tempat tidur sebelum akhirnya tersungkur di lantai kamar. Diana tak sadarkan diri.
Suara hujan di luar rumah menyamarkan kekerasan yang baru saja Arie lakukan. Menyembunyikan dari tetangganya.
Hujan pertama di bulan juni itu pula yang kelak akan menjadi pengingat baginya. Momen dimana ia kehilangan istrinya. Bukan secara harfiah tentu saja.
Sebuah tamparan di pipi Diana menjadi penutup amarah Arie sore itu. Tamparan yang saking kencangnya membuat tubuh Diana terhempas. Kepalanya sempat membentur ujung tempat tidur sebelum akhirnya tersungkur di lantai kamar. Diana tak sadarkan diri.
Suara hujan di luar rumah menyamarkan kekerasan yang baru saja Arie lakukan. Menyembunyikan dari tetangganya.
Hujan pertama di bulan juni itu pula yang kelak akan menjadi pengingat baginya. Momen dimana ia kehilangan istrinya. Bukan secara harfiah tentu saja.
***
Arie membuka matanya. Perlahan ia mulai kumpulkan kembali
kesadarannya. Ia terperanjat saat mendapati tubuh Diana tak ada di tempat
tidur. Ia kaget setengah mati. Digerakannya bola matanya itu ke kanan dan ke
kiri. Namun tidak ada juga sosok Diana.
“Mas.” Ia mendengar sebuah suara dari arah belakang tubuhnya.
Suara yang ia kenal betul. Suara istrinya. Diana.
“Ya.”
“Aku disini Mas.” kata Diana pelan.
Arie membalik tubuhnya. Ia melihat Diana sedang duduk
membelakanginya. Menatap ke jendela. Melihat hujan sedang menyirami bunga-bunga di
pekarangan belakang rumah sakit.
“Maafkan aku Diana.” ucap Arie mengiba.
“Aku waktu itu panik.
Aku termakan amarah.”
“Gak apa-apa mas.” jawab Diana. Suaranya datar. Tak seperti
orang yang memaafkan. Lebih kepada wanita yang tak mau urusannya jadi panjang.
“Aku sudah baca seluruh surat itu. Maaf aku sudah salah
sangka.”
“Iya Mas.” jawab Diana masih datar. Namun kali ini terasa
ada intonasi kemarahan dalam suara singkatnya itu.
“Bulan lalu Tyo akhirnya meninggal. Ini surat terakhirnya
untukmu.” Arie mendekat, lalu menyerahkan sebuah surat dengan amplop putih dari
balik saku celananya.
Diana menerimanya.
“Ayo kita pulang mas.”
***
Sejak masuk mobil hingga sampai di rumah, Diana belum mengucapkan
satu patah kata pun. Arie juga tidak berusaha menegurnya. Ia memberinya ruang
untuk sendiri.
Diana belum mau masuk ke dalam rumah. Ia memohon untuk
dibiarkan duduk di teras. Arie pun membiarkannya menyendiri disana. Sementara
ia mulai merapihkan kamarnya. Kamar yang punya sejuta cerita untuk dirinya dan
Diana. Termasuk kisah tragis itu. Juga kisah-kisah selanjutnya.
Arie mulai mengingatnya. Saat ia membaca lembar demi lembar surat
milik Diana.
Dimulai saat Tyo bercerita bahwa ia terkena Leukimia. Usianya tak lebih
dari enam bulan lagi. Ia menyatakan permohonan maaf untuk Diana. Maaf atas apa
yang telah ia lakukan padanya. Meninggalkannya demi seorang pramugari muda yang
ia temui saat pulang dinas dari Atambua.
Tyo mendoakan agar hubungannya dengan Arie langgeng. Jangan
sampai Diana di kemudian hari termakan rayuan pria nakal seperti dirinya. Diana
mengamininya. Ia berterima kasih pada Tyo yang telah mengingatkannya.
Diana kemudian bercerita bahwa ada seorang pria yang sedang
mengganggunya, tapi ia tak memperdulikannya. Fokusnya hanya pada Arie. Ia tahu
Arie sedang kesulitan di kantornya. Ia ingin menceritakan tentang pria itu pada
Arie, namun takut justru akan jadi tambahan beban buat Arie. Maka ia urung
menceritakannya. Tyo bilang langkah itu sudah tepat.
Tyo punya satu permohonan ke Diana. Tyo ingin Diana membantu
masalah hak warisnya. Ia ingin memastikan 75 persen hartanya jatuh ke Tyas, anaknya. Sisanya
baru dibagi rata antara istri dan adik-adiknya. Diana pun menyanggupinya.
***
Mata Diana lurus menatap ke depan. Tepat di hadapannya
sekelompok anak kecil sedang bermain hujan-hujanan. Namun fokusnya bukan kesitu.
Pikiran Diana sedang menyusuri lorong waktu. Kembali di saat sebuah tamparan
keras menghantam pipinya.
Dalam sepersekian detik sebelum kepalanya membentur ujung
tempat tidur, banyak sekali kenangan yang meluncur bebas di pikirannya. Salah satunya
saat Arie melamarnya. Mendatangi ibunya. Ia berjanji akan membahagiakan Diana.
Tak akan pernah menyakitinya. Baik hati maupun fisiknya.
Tetes air mata meluncur saling bersusulan dari kedua mata
Diana. Seolah sedang balapan dan ada pada lap
terakhir, keduanya tak mau kalah. Kedua pipi Diana pun basah air mata. Tapi ia
sengaja tak menyekanya. Diana membiarkan sensasi kesedihan menyelimuti dirinya.
Sementara itu, sebuah surat terakhir dari Tyo masih digenggam erat di tangan
kanannya.
Ia memberanikan diri membukanya. Diana takut Tyo marah
padanya. Marah karena tak pernah lagi membalas surat dari Tyo sejak kejadian
itu.
Diana membaca surat terakhir dari Tyo.
Dear Diana,
Menanti kabar darimu menjadi siksa sekaligus obat bagiku.
Siksa karena batinku tak tenang. Obat karena vonis dokter yang bilang usiaku
hanya tersisa enam bulan ternyata keliru. Aku bisa bertahan hidup hampir dua tahun. Aku menanti kabarmu Diana.
Oh iya, masalah hak waris sudah beres. Kau tak usah
repot-repot membantunya. Pengacaraku sudah menyelesaikannya.
Diana, aku merasa usiaku sudah sampai ujungnya. Mungkin ini
akan jadi surat terakhirku. Jadi dimana pun kau berada. Aku harap kau baik-baik
saja.
Your friend, Tyo.
Air mata Diana kembali menetes. Namun kali ini bukan dari
amarahnya, tapi dari rasa kehilangannya.
***
“Diana, ayo kita masuk. Sudah maghrib.” Arie membangunkan
Diana dari lamunannya.
“Iya Mas.” jawab Diana datar.
Arie menggandengnya masuk ke dalam. Ia telah berhasil membawa pulang
Diana kembali ke rumahnya. Tepat saat hujan pertama di bulan Juni, persis kala ia kehilanganya dahulu.
Namun Arie tahu, bahwa dia yg sudah pergi tak akan kembali lagi dalam wujud yang sama saat datang kembali. Arie siap dengan konsekuensinya. Ia sadar Diana tak akan kembali menjadi istrinya yang dulu.
Namun Arie tahu, bahwa dia yg sudah pergi tak akan kembali lagi dalam wujud yang sama saat datang kembali. Arie siap dengan konsekuensinya. Ia sadar Diana tak akan kembali menjadi istrinya yang dulu.
Inspired by: Stop #KDRT