“Saatnya
kita berpisah. Maafkan aku yang telah mampir ke hatimu. Asal kau tahu,
dirimu sesungguhnya juga telah hadir di hatiku. Lama sebelum kau sadari
itu. Tapi aku tahu kisah kita tak akan abadi. Ada yang salah dengan
takdir kita. Kau pasti tahu apa itu. Jadi sebelum semua semakin rumit, aku memilih pergi. Menghilang. Tapi tak melupakanmu. Selamat Tinggal.”
Pesan
terakhirmu kerap kubaca berulang kali. Kubaca hingga mataku lelah.
Hingga aku tertidur dan bermimpi tentangmu. Tapi mimpi itu tak sama
seperti kisah kita dahulu. Kau acuhkan aku. Tak membalas sapaku.
Sudah tiga minggu sejak pertemuanku yang terakhir denganmu. Kau menepati janjimu untuk melupakanku. Tak ada lagi pesan suara merdu darimu. Tak ada lagi kata-katamu yang kerap menginspirasiku. Kau sukses membuatku merindu.
Hingga di suatu pagi aku merasakan desahmu. Suaramu
beserta bau nafasmu yang khas membisik telinga kananku. Aku
menikmatinya. Masih dengan mata terpejam. Belaimu menyentuh lembut
lenganku. Nikmat hingga bulu kudukku merinding.
Aku
mulai membuka mataku. Tapi tak ada dirimu. Secepat itukah kau
menghilang? Entah ilmu apa yang kau kuasai kini, hingga kau mampu hadir
walau tanpa ragamu.
Owhh,
jendela kamarku terbuka. Aku tahu kau pasti mampir tadi. Berkunjung
diantar angin. Aku tahu sejak lama kau bersahabat dengan angin. Dulu
sekali, aku selalu mendengar bagaimana kau memuja angin. Berkata
anginlah kekuatan alam yang paling dahsyat. Lebih dari api, air atau
logam terkuat mana pun.
Aku
pun membiarkan jendela kamarku tetap terbuka. Berjaga-jaga jika saja
nanti kau sudi kembali untuk mampir kesini. Ke kamarku yang sempit.
Kamar yang penuh dengan foto wajahmu. Dengan satu foto utama sebagai
kiblatnya. Foto di atas meja yang persis menghadap tempat tidurku.
Sengaja aku letakkan meja itu disana, agar aku mudah melihatmu. Agar aku
tak pernah lupa betapa indah raut mukamu. Agar aku mengenangmu. Tak
lupa di samping kanan kiri fotomu kuletakkan beberapa buah apel. Buah
kesukaanmu. Bersama tentu saja dupa. Barang yang setiap pagi kau
nyalakan untuk melekatkan doamu pada Tuhanmu.
Hingga siang aku menatap wajahmu. Tak bosan rasanya. Tapi aku harus berhenti sejenak. Aku ingin menghadap Tuhanku, sebab waktu dzuhur telah tiba.
Aku
mengambil wudlu. Lalu menuntaskan salat empat rakaatku. Aku berdoa pada
Tuhanku untukmu. Semoga kau damai di tempat barumu. Entah Tuhanmu atau
Tuhanku saling kenal, aku tak peduli. Aku hanya berucap, tak mengharap
dibalas ucap kembali. Yang kutahu aku mencintaimu Lam Bok Sia. Aku Anisa
Sakinah.
Created: 11 October 2015
Inspired: a word from NDA at Bright Cafe.
Setiap org punya kiblatnya masing-masing. Keyakinan yang kuat yg bisa mempertahankan kiblatnya meski harus mengorbankan perasaan kayak Lam Bok Sia & Anisa Sakinah. Keren yeeee bahasa gw 😁
BalasHapusWuihh.. Sok iye bahasa lo Ken.. btw thanks dah jd komentator pertama di blog gw.. Haseekk..
Hapus