Minggu, 22 November 2015

JAGA JARAK

“tap.. tap.. tap..”

Aku merasakan kehadiran derap langkahnya.

Berbeda dengan orang kebanyakan, ia selalu memulai langkahnya dengan kaki kiri. Lalu setelahnya baru kaki kanan, dan begitu seterusnya.

Pintu kamarku dibuka. Ia kian dekat. Empat meter, tiga meter, dua meter. Ia berhenti. Kini posisinya tepat di belakangku.

Seolah tak sadar akan kehadirannya. Aku pura-pura fokus menatap jendela. Melihat pemandangan di luarnya. Sebuah taman bunga.

Ia melanjutkan langkahnya. Setapak demi setapak. Ia berusaha untuk tak mengejutkanku. Tak mengganggu kagumku akan bunga.

***

Aku merasakan desah nafasnya berhembus mengenai bulu halus di leherku. Jarak wajahnya kini pasti tepat sejengkal dari kepalaku.

Aku masih pura-pura tak menyadari kehadirannya.

“Tama sudah makan?” ia menyapaku.

Aku hanya mengangguk.

“Tama mau Andina temani ke taman?”

Aku menggeleng.

“Tama hanya mau menyaksikan bunga Lily yang dulu kita tanam dari balik jendela.”

“kenapa?”

“Di luar panas. Tama gak pengen Andina kepanasan.” Kataku tanpa ekspresi, sementara ia menghela nafas panjang.

“Ya udah, Andina beresin kamar Tama dulu ya.”

Aku mengangguk.

***

Aku menjelajah masa lalu lewat khayalku. Kembali ke enam bulan lalu. Saat ia baru tiba di tempat ini. Seminggu setelah ayah ibu menitipkanku di sini.

Aku memukulnya. Mencakarnya. Meludahinya. Tapi ia tetap sabar. Tak membalas.

Lalu setelahnya, hampir setiap saat ia hadir di hariku. Berusaha meredakan amarahku. Membantu mencari kembali ketenanganku. Kewarasanku.

Hingga akhirnya ia berhasil. Aku tak lagi memukulnya. Mencakarnya. Meludahinya. Aku justru memujinya. Memujanya.

Selain sabar. Ia juga cantik, baik dan dewasa. Meski usianya setahun lebih muda dariku. Namun kedewasaannya itulah yang membuat aku akhirnya berjarak dengannya kini.

Semua berawal dari buku hariannya.

Aku membacanya. Saat ia tanpa sadar meninggalkannya di meja samping tempar tidurku.

Dear diary,

Aku sudah tak kuasa lagi menahan amarah ayahku. Entah ini kali keberapa ia memarahiku. Menegurku. Menyindirku.

Ia marah saat tahu betapa aku menyayangimu. Menyanjungmu. Dan diam-diam jatuh hati padamu. Kau yang kupikir tak pernah akan ada di hatiku. Kau Tama..

Tapi cukup sudah rasa ini hanya akan aku simpan sendiri. Toh kau tak akan pernah tahu juga. Apa lagi membalasnya.

Kini aku akan mencoba mengikhlaskanmu. Merelakanmu untuk tak jadi bagianku. Walau sulit. Apalagi saat aku harus bertemu denganmu. Ada kekecewaan dalam momen itu. Kecewa karena aku tak bisa jadi aku. Tapi biarlah rasa pahit itu juga jadi obat rinduku padamu. Obat yang perlahan akan aku tinggalkan saat aku telah benar-benar sembuh. Tapi sebelum semua itu terjadi biarlah kini aku jaga jarak denganmu. Agar kau tak lagi nyaman denganku.:(

***

“kenapa semua baju Tama dan barang-barang Tama ada di koper? Memangnya Tama mau pergi kemana?” Pertanyaannya membawaku kembali tersadar.

Aku membalikan badan. Menatapnya tajam. Tatapanku tak boleh kelihatan kosong. Aku harus berbohong. “Tama mau pulang. Dokter bilang Tama sudah sembuh. Tama sudah waras tidak gila lagi.”

Ia menatapku lekat. Memastikan kewarasanku. Aku berusaha keras tak kehilangan fokusku akan matanya. Aku tak ingin ia menyadari kebohonganku.

Ia tersenyum. 

“2 ditambah 2 berapa?”

“empat..”

“6 dikurangi 3 berapa?”

“tiga..”

Ia menitikan air mata. Lalu memelukku.

Di balik peluknya aku tersenyum karena telah membohonginya. Dua ditambah dua kan tujuh pikirku.

***

Pintu kamarku diketuk. Tampak Ayah, Ibu dan dokter Harris.

“Ayo Tam kita pulang.” Kata ayahku.

Aku mengangguk.

Aku melepaskan pelukanku ke Andina. Kembali menatapnya. Mataku berbicara dengan matanya. Kulalukan semua kebohongan ini demi kamu Andina. Demi kesuksesanmu menjaga jarakmu denganku. Demi keredaan amarah ayahmu. Demi kebahagianmu. Walau untuk itu aku harus pura-pura waras. Pura-pura tak gila.

Aku menjabat tangan Andina.

“Terima kasih..”

“Sama-sama.” Katanya.

Ia menitikan air mata. Entah apa maksud air mata itu. Bahagia karena aku kembali waras atau ia sedih karena menyadari kebohonganku.

Created: 22 November 2015

Inspired: ...

4 komentar:

  1. Dari sejumlah tulisan kakak mynameisprast yg udh gw baca, tulisan kali ini berbeda. Out of the box. Keluar dari genre kakak yg biasanya.

    BalasHapus
  2. Makasih lho Dik.. iyuhh..

    nantikan ya, sesaat lagi akan hadir tulisan yg spekta..

    BalasHapus
  3. Keren Prast... Salut bisa nulis kayak gini. Sederhana tapi dalam maknanya.
    Jujur, gw gak sanggup. Gak pintar berandai-andai. Hehehe..
    Tulisan ini agak paradoks dikit!
    Ingin berjarak tapi dalam hati berbeda.


    Terakhir, kadang kita butuh melangkah dengan kaki (kiri)

    BalasHapus
  4. Makasih Bang Jacko.. Aku sih yakin bang Jacko pasti bisa, cuma belum mau aja..

    hihihi.. benar bang Jacko.. kata pepatah, luasnya samudera dan dalamnya lautan masih bisa diukur, tapi isi hati manusia siapa yg tahu..

    hahhaha.. iya bang.. karena kanan tak melulu baik dan kiri tak selalu salah..

    BalasHapus