Senin, 18 Januari 2016

Sang "Pengantin"

Gemericik air katanya bisa membuat hati tentram. Suaranya yang lembut dipercaya bisa mereduksi stres. Membuat pikiran menjadi lebih rileks. Untuk sebagian orang mungkin iya, tapi tidak bagiku.

Suara riak air sungai Rhine yang bergerak lambat justru membuatku berfantasi kesana kemari. Geraknya yang gelisah menggambarkan apa yang saat ini kurasakan. Aku takut, sekaligus bahagia. Takut karena akan menghilang selamanya darimu, bahagia karena akan mencapai tujuan muliaku.

Kilau cahaya mentari sore yang terpantul di permukaan air membuat mataku mengerjap. Ada kilatan memori yang kemudian muncul. Memori tentang aku dan ibuku. Tentang bapakku. Tentang kamu.

Hembusan angin dingin khas bulan desember membelaiku. Membuat ototku kelu, kulitku kaku. Tapi sebagai penyuka angin, aku tak marah. Aku menikmati sensasinya. Seandainya kamu ada disini, kamu juga pasti suka. Karena kita berdua adalah pengagum angin. Mencintainya lebih dari siapa pun.

Aku ingat kala kita kecil. Kita biasa berburu angin. Memasukannya dalam botol bekas selai milik ibumu. Lalu melabelinya. ‘Cihampelas hari selasa’, ‘Braga hari kamis’, ‘Ciwidey hari sabtu’, dan masih banyak lagi. Kita selalu melongkap sehari jadwal berburu kita, karena di hari senin dan rabu aku ada jadwal mengaji. Sementara pada hari jumat kamu harus menghapal buku das kapital. Jika tidak, bapakku akan marah, juga bapakmu.

Sambil membayangkanmu aku meneguk segelas red wine. Perlahan. Mengkumurnya hingga seluruh rongga mulut merasakan sepatnya. Aku bertingkah bak penikmat wine sejati.


Wine yang kupilih bukan sembarang wine. Bukan anggur cap orang tua yang biasa diminum para sopir metromini usai mereka bertaruh nyawa demi bertahan hidup di Jakarta. Aku memilih wine terbaik yang dijual di restoran Rhein-Blick di kota Cologne. Merknya Riesling Kabinett tahun 1994, Harganya 220 Euro. Merk wine ini sangat populer di kalangan orang Jerman. Riesling Kabinett adalah simbol keangkuhan bangsa Arya. Bukti bahwa mereka bisa memproduksi wine yang lebih baik dari buatan orang Prancis.

Handphoneku berdering. Pelan, tapi suaranya berhasil membuat hatiku berdetak kencang. Aku gugup. Saking gugupnya aku sampai menumpahkan sebagian wine yang berada dalam gelas yang kugenggam.

“Asalamualaikum..” Aku langsung mengucapkan salam saat menjawab panggilan telepon itu.

“Walaikumsalam.. Antum ada dimana?” Suara pria yang menelponku. Namanya Irfan. Usianya dua tahun lebih tua dariku.

“Ana ada di Rhein-Blick.”

“Ngapain antum disana? Tempat kafir kumpul-kumpul itu.” Suaranya meninggi.

“Ana cuma menikmati 24 jam yang Imam Harun kasih buat ana.” Aku coba menjawab dengan tenang.

“Antum udah salat ashar?”

“Alhamdulilah udah.”

“Ya udah antum tunggu disana. Sejam lagi ana kesana. Ada paket yang ana mau kasih ke antum.”

“Siap.”

“Walaikumsalam.”

(Lanjutan)

Senja mulai datang. Mentari sore bergerak turun perlahan. Kini Sungai Rhine dipenuhi kemilau. Cipratan dari laju ikan yang bergerak menembus ombak kecil sesekali memendar cahayanya.

Waktu terus berjalan. Langit mulai hitam. Mentari yang sibuk seharian sudah turun ke peraduan, tugasnya kini digantikan rembulan. Malam ini sang dewi malam itu bersolek sungguh menawan. Cahayanya benderang. Hampir penuh purnamanya.

Aku takjub dalam diam. Tanpa kata dan suara. Ragaku mematung, hanya dua bola mataku saja yang bekerja. Mengamati setiap pengunjung, baik yang sudah ada maupun yang baru tiba.

Belasan pemuda menyeruak masuk ke dalam restoran. Wajah mereka penuh peluh, sementara baju dan celananya kotor akibat lumpur. Dari penampakannya, aku yakin mereka baru saja selesai bermain sepak bola.

Duduk di seberang mejaku, mereka menyatukan tiga meja jadi satu. Berbincang lalu memesan lima pitcher krombacher, beer khas jerman. Sebagian besar dari mereka sibuk berbincang bagaimana jalannya pertandingan tadi. Bagaimana mereka mampu mengalahkan lawannya yang datang dari Berlin lewat adu penalti.

Namun tak semuanya larut dalam obrolan itu, beberapanya sibuk mengamatiku. Mungkin aneh pikir mereka, orang asia sepertiku duduk sendiri disini.

Tak lama mereka yang mengamatiku ikut larut dalam obrolan sepak bola bersama kawan-kawannya, dan mulai mengabaikanku. Obrolan beralih pada pertandingan sepak bola semalam di televisi, saat tim kesayangan kota mereka dibantai wolfsburg tiga gol tanpa balas.

Hanya sampai situ aku mengikuti obrolan mereka. Selanjutnya aku kembali pada lamunanku. Lamunanku tentang kamu.

Aku ingat dulu kita juga sering nonton bola bersama. Liga indonesia. Namanya liga Dunhill kala itu. Kita menontonnya setiap minggu sore di rumah kamu. Tak pernah sekalipun di rumahku. Bapakku tidak suka aku menonton sepak bola. Haram katanya. Padahal kamu tahu, aku suka sekali sepak bola. Sambil sembunyi-sembunyi, dulu kita kerap memainkannya sepulang sekolah. Di halaman rumahku, saat bapakku pergi kerja.

Seperti warga Bandung lainnya, aku pendukung Persib sejati. Sementara kamu.., kamu akan dukung tim mana pun asal bajunya berwarna biru. Sejak itu aku tahu, selain angin, biru adalah favoritmu.

Ingin sekali rasanya kini aku berbincang denganmu. Bertegur sapa di waktu sempitku. Seandainya saja dulu bapakku tak membuang surat terakhirmu. Surat yang berisi nomor handphone dan alamat rumah barumu. Aku pasti sudah menghubungimu. Jika itu yang terjadi, mungkin langkahku tak seperti ini.

Empat pengunjung baru saja masuk ke dalam restoran. Aku mengenal satu diantaranya. Irfan kawanku. Sementara tiga lainnya, aku tak mengenal mereka. Keempatnya kini bergerak menuju mejaku. Wajah Irfan kesal, tampaknya ia masih tak suka aku berada disini.

“Assalamualaikum.” ia menyapaku.

“Walaikumsalam.” Jawabku.

“Masyaallah. Apa yang kau minum itu Suf? Anggurkah itu?”

“Iya Fan.”

“Dosa kamu. Khamar itu. Haram.”

“Tapi kata Imam Harun, aku boleh melakukan apa pun yang aku mau selama 24 jam ini. Apa pun, termasuk yang dosa. Karena Syurga sudah dijaminkan untukku besok. Begitu kata Imam Harun”

“Iya. Tapi.. Ah sudahlah.” Irfan menahan kata-katanya. Ia membiarkanku dengan pilihanku hari ini.

“Oh iya, ini kenalkan kawan kita. Ahmad dari Lumajang. Hakan dari Turki dan Hussein dari Suriah. Mereka yang akan menemanimu besok.” Irfan mengenalkanku pada kawan-kawan seperjuangan kami.

“Assalamualaikum.” Aku menyapa mereka, lalu menjabat tangan mereka satu persatu.

“Walaikumsalam.” Balas mereka, sambil menggenggam tanganku.

“Oh iya, ini ada tiket pesawat dan sejumlah uang untuk keberangkatanmu besok ke Berlin. Pesawat berangkat pukul enam pagi ya. Untuk paket yang sebelumnya aku bilang, kamu bisa mengambilnya setibanya di Berlin. Aku akan menelpon kamu sekitar pukul delapan pagi besok.” kata Irfan sambil menyerahkan sebuah amplop coklat.

“Oke Fan.”

“Kalau begitu kami pergi dulu. Sampai besok. Semoga sukses. Allahu akbar.” Irfan berkata sembari ditutup teriakan takbir.

“Allahu akbar.” Jawabku dan ketiga kawan tadi.

Irfan pergi meninggalkanku bersama tiga kawan tadi. Dari jauh aku masih melihat Irfan bergeleng-geleng melihatku.

To be continued..

Created: 18 January 2016
Inspired: #KamiTidakTakut

2 komentar:

  1. Ungkapan yang menguatkan personifikasinya bagus. Bikin jadi ngerasa seolah-olah melihatnya. Riset adalah bukan pekerjaan mudah. Big efforts are needed. Viel Glueck!

    BalasHapus
  2. Seru kayaknya, nih!
    Ditunggu kelanjutannya, Prast...

    Semoga gak ada yang jadi suicide bomber ya...
    #Kami Tidak Takut
    tapi
    #Takut kalo hp tiba-tiba dipegang istri

    BalasHapus