Selasa, 10 Januari 2017

BELAJAR DARI KISAH PEWAYANGAN

Seminggu yang lalu, gw ngobrol dengan dua orang teman di kantor yang sama-sama penyuka kisah pewayangan. Mas Wahid dan Andika. Gw sendiri suka banget kisah pewayangan sejak kecil. Jauh sebelum gw kenal Harry potter atau komik super hero lokal karya Tatang S.

Dulu, gw selalu minta diceritain kisah Ramayana dan Mahabarata sebelum tidur sama bapak gw. Dia tentu dengan senang hati menceritakannya. Tapi syaratnya satu. Sambil mijitin kakinya. Favoritnya diinjak-injak.

Kisah pewayangan mengajarkan gw untuk open minded dalam hidup. Terutama saat menilai orang. Kita mesti melihat banyak angle. Kisah pewayangan mengajarkan bahwa tidak ada orang yang seratus persen jelek atau seratus persen bagus. Selalu ada satu dua kebajikan dari dominan sikap jahat seseorang, begitu pula sebaliknya.

Sebagai contoh, Duryudana. Anak sulung kurawa. Tokoh yang dianggap sangat jahat ini punya sifat jelek, yaitu iri dan dengki. Selain itu juga kasar dan tidak menghargai perempuan. Tapi satu sifat baiknya adalah dia seorang yang sangat setia kawan. Sifat itulah yang kemudian meluluhkan hati Adipati Karna, kakak tertua Pandawa dari beda bapak. Hingga akhir hayatnya, Karna tetap setia membela Duryudana. Ia pun harus rela melawan adik-adiknya untuk menjaga kesetiaannya itu. Karna tahu bahwa sejatinya ia berada di pihak yang salah. Fyi, nama Karna kelak jadi inspirasi orang tua proklamator kita menamakan buah hatinya. Soekarno.

Atau, Yudistira. Kakak tertua pandawa lima. Tokoh baik yang sangat dikagumi wakil presiden RI ke-11, Boediono. Dengan segala kebijaksanaan yang dimilikinya, Yudistira sesungguhnya adalah orang yang plin-plan. Menurut gw, ia merupakan orang yang paling bertanggung jawab akan terjadinya perang Bharatayudha. Perang besar antara Pandawa dan kurawa. Sikap plin-plan yudistira tak jarang membuat keluarganya dipermalukan. Salah satunya saat istrinya Drupadi akan ditelanjangi Duryudana di meja judi. Beruntung Dewa wisnu membuat kain penutup tubuh Drupadi tak bisa habis digulung.

Selain soal jahat dan baik, kisah pewayangan juga bisa jadi kajian kita untuk menilai banyak sifat yang dimiliki manusia. Salah satunya cinta.

Kisah Rama dan Shinta selalu menarik buat gw dari dulu. Bagaimana gw selalu mempertanyakan rasa cinta Rama pada Shinta.

Sebelum kita mendiskusikannya, gw akan merangkum sedikit kisahnya.

Pada satu masa, ada seorang pangeran tampan dari negeri Ayodya bernama Rama. Dia jatuh cinta pada puteri cantik asal negeri Mithila bernama Shinta. Kisah cinta mereka berjalan tanpa halang rintang yang berarti. Keduanya lalu jadi kekasih yang berujung pada pelaminan.

Dalam perjalanannya, Rahwana muncul. Rasa cintanya pada Shinta membuatnya berani melarikan istri Rama itu ke negeri Alengka, tempatnya berkuasa.

Lewat bantuan Hanoman, Rama kemudian bisa membunuh Rahwana dan merebut kembali Shinta ke Ayodya.

Namun gunjingan rakyat akan kesucian Shinta yang telah berbulan-bulan ditawan Rahwana membuat Rama melakukan ritual api suci. Membakar Shinta hidup-hidup. Shinta menangis melihat suaminya yang tidak mempercayainya. Konon tangisan Shinta membuat seisi alam bersedih. Namun karena kepatuhannya, ia tetap menjalani ritual itu. Shinta pun berhasil selamat dari kobaran api.

Tapi ujian itu ternyata belum cukup memuaskan hasrat Rama untuk mencari tahu penasaran di hatinya. Akibat gunjingan rakyatnya yang tiada henti, Rama kemudian membuang Shinta ke hutan. Bertahun-tahun berlalu, kemudian Shinta kembali ke istana. Rama kemudian menyadari kesalahannya. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kali ini Shinta marah dan hentakan kakinya membuat bumi terbelah menjadi dua. Ia lalu turun masuk ke perut bumi. Dan tidak pernah kembali lagi.

Kisah ini merupakan epos Ramayana versi India.

Dari kisah tadi gw berpikir. Saat Rama mati-matian mengambil kembali Shinta dari Rahwana, apakah itu dilandasi cinta?. Atau semata hanya karena ia berusaha melindungi egonya sebagai laki-laki. Bahwa “miliknya” tak boleh diambil orang lain.

Jika ia cinta, lalu mengapa kemudian Rama menyianyiakan shinta. Tak percaya pada Shinta. Ia justru lebih mendengarkan gunjingan rakyatnya. Bukankah cinta harusnya saling menguatkan sepasang kekasih. Membuatnya saling percaya dan saling jaga.

Kemudian gw tertarik akan cinta Rahwana pada Shinta. Berbulan-bulan mengurung Shinta di Alengka tentu Rahwana punya banyak kesempatan jika ingin berbuat jahat pada Shinta. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, tentu ia dengan mudah bisa “memaksa” Shinta menuruti kemauannya. Baik dengan ancaman atau dengan cara tak terpuji lainnya. Misalkan memperdaya Shinta lewat obat-obatan yang membuatnya hilang kesadaran atau efek buruk lainnya. Tapi nyatanya itu tak dilakukan Rahwana. Ia tetap menjaga kesucian Shinta.

Jadi cinta siapa sesungguhnya yang lebih besar pada Shinta?

Topik ini cukup seru kami perbincangkan saat itu. Sampai akhirnya, gw sadar lima menit lagi news update jam sembilan. Jadilah gw mesti bergegas menuju studio. Mengendalikan siarannya.

Meski tak selesai kami bahas tuntas topik ini, tapi sepertinya gw tertarik membuat kisah kehidupan Rahwana seribu tahun kemudian.

Ini sedikit teasernya.

RAHWANA

Prolog.

Lima belas hari setelah purnama, ketika bulan mati dan malam menjadi sangat gelap, akhirnya ajal sang durjana itu tiba. Anak panah brahmastra melesat cepat dari busur yang ditembakan Rama. Mendarat tepat di jantung Rahwana. Membuatnya tersungkur. Diam, Rahwana coba menghimpun sisa-sisa nafasnya. Ia tahu, nyawanya telah sampai di kerongkongan. Tak akan lama lagi ia mampu bertahan.

Dalam gelisahnya menunggu kematian, Rahwana mendapati wajah Sinta dalam angannya. Wanita yang begitu ia cintai. Wanita yang membuatnya meluluhlantakan Alengka. Negeri yang ia sayangi. Beribu rakyatnya telah binasa, demi ego ia yang punya kuasa.

Rahwana meneteskan air mata.

Ia memanjatkan doa. Berbicara pada Sang Hyang Tunggal.

“Hukumlah aku beribu reinkarnasi dengan kesengsaraan. Buatlah itu jadi penebus dosaku. Buat itu tiada henti, sampai tak tersisa sebiji zarah dosa yang tersisa dari kesalahanku.”

“Dan jika sudah cukup semuanya terbayar. Maka aku hanya minta satu padamu Sang Hyang Tunggal. Jadikanlah aku jodoh Sinta. Sekali saja, dalam salah satu cerita kehidupanku.” Rahwana lalu menghembuskan nafas terakhirnya setelah mengucap permohonannya.

Gelegar halilintar dan hujan deras langsung turun. Menhujam bumi. Menyambut kematian si pendosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar