Kamis, 20 April 2017

Saya ingin jadi Presiden jika besar nanti. Tidak bisa, kamu kan Kristen..

Beberapa hari yang lalu saya jajan di salah satu sekolah dasar di dekat rumah. Saat saya sedang asyik menyantap pempek murah di sana, telinga saya kaget mendengar obrolan sekelompok siswa. Ada setidaknya lima orang jumlah mereka. Kelimanya sedang menunggu pesanan cilok mereka disajikan si pedagang. Tiba-tiba salah satunya, yang paling ganteng di antara mereka berujar. “Saya ingin jadi presiden jika besar nanti.”

“Tidak bisa, kamu kan Kristen.” Gugat siswa yang badannya paling besar.

“Iya. Ngga bisa. Kita yang mayoritas Islam, ngga mungkin membiarkan kamu terpilih. Seberapa pun baik dan cakapnya kamu.” Timpal yang lainnya.

“Jadi Lurah pun kamu tak bisa. Mama temanku yang Kristen, jadi Lurah di Lenteng Agung aja ditolak.”

“Udahlah, kamu paling mentok jadi ketua RW saja. Itu pun dengan syarat kamu tinggal bertetangga dengan mayoritas mereka yang satu agama.”

“Karena kita, muslim, tidak akan membiarkan kafir seperti kamu memimpin kami. Kecuali di perusahaan tempat ayah dan ibu kami mencari makan untuk kami.” Siswa yang badannya paling kecil menutup percakapan itu sambil menerima cilok pesanannya.

Pilkada DKI 2017 telah membuka mata kita. Membuat kita tersadar dari utopia yang selama ini kita saksikan dalam tidur panjang bernegara. Mimpi akan kebhinekaan serta persamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia. Cita-cita yang dirumuskan para bapak dan ibu pendiri bangsa.

Jika mata itu terbuka sebelum tanggal 17 Agustus 1945, saya yakin tidak ada Indonesia yang sebesar sekarang. Karena orang manado, ambon, kupang dan masih banyak daerah lainnya lebih baik mendirikan negara sendiri. Setidaknya hal itu menjamin, jika kelak anak mereka bermimpi jadi presiden, maka mereka bisa membantu mewujudkan mimpi anak-anaknya.

Saya teringat, sebuah percakapan antara pejabat pemerintah yang datang ke daerah Sibolga di Sumatera utara pada era presiden Soeharto. Saat seorang anak ditanya “Apa cita-cita kamu dik?”

“Jadi presiden pak.” Jawab si anak.

“Ohh, bisa. Asal kamu belajar yang rajin.” Kata si pejabat.

Bohong.

Kenapa tidak langsung saja di jawab. “Tidak bisa. Kamu Kristen. Kecuali kamu masuk Islam dan jadi muallaf. Itu berarti kamu harus meninggalkan Tuhan kamu untuk jadi presiden. Lalu menyembah Tuhan kami.”

Sebagian pembaca artikel saya mungkin saja akan marah. Tidak suka, karena saya bicara blak-blakan. Tidak suka, karena saya tidak ikut meninabobokan saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan.

Apakah saya membenci Islam? Tidak. Saya sangat mencintainya. Begitu pula, saya mencintai bangsa ini, Indonesia.

Jika membiarkan kebohongan itu terus berlangsung dianggap sebagai sumbangsih bagi kebesaran Islam, maka saya tak mau ikut serta. “Lalu apa bukti kecintaanmu pada Islam?”, jika kemudian pertanyaan itu muncul, maka saya akan tegas menjawab “Jika terjadi perang antara Islam dan Kristen secara global, seperti perang salib misalnya. Maka InsyaAllah, saya akan berada pada barisan paling depan. Jadi kelompok yang gugur paling awal.” (Catt: walaupun, perang salib juga masih sangat debatable, apakah perang itu murni perang keyakinan, atau besar unsur ekonominya)

Kadang saya selalu berpikir, apakah saya lahir lebih cepat dari yang seharusnya. Apakah ini jaman yang tepat untuk saya hidup. Jika jawabannya, tidak. Maka kenapa saya dilahirkan sekarang?. Apa tugas saya di jaman ini. Siapakah saya sebenarnya? *mulai drama.

Tak banyak yang saya harapkan dari tulisan ini. Saya hanya berharap kembali tertidur. Kembali bermimpi tentang Indonesia yang berbhinneka tunggal ika. Merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar