Scene 1 Wedding Invitation
mentaripagi@gmail.com
Dear Bumi..WEDDING INVITATION: Mentari And... Nov 6
What..?! Undangan nikah dari
Mentari.
Aku menghela nafas panjang
sementara mataku nanar menatap layar komputer.
Pikiranku kacau. Hariku
mendadak buruk. Tubuhku bak tersambar petir lalu diguyur hujan lebat dan
berakhir masuk angin. Aku demam.
Mentari akan menikah? Aku gak
terima. Mentari, cinta pertamaku. Cinta keduaku. Ketigaku. Cintaku
satu-satunya.
Lama mataku terpaku pada
layar komputer. Berharap email dari Mentari hanya fatamorgana yang perlahan
hilang dengan sendirinya. Tapi nyatanya, makin lama email itu kian fokus dan
justru yang lainnya memudar dan sirna.
Kini pikiranku dipenuhi tanda
tanya. Siapa laki-laki yang akhirnya mampu menaklukan mentari.
Penuh rasa penasaran, aku
memberanikan diri membuka email dari Mentari.
“WEDDING
INVITATION: Mentari And Bintang.
By
requesting mercy and blessings God. We Invite you to our marriage and wedding
ceremony.
The
marriage will be held on: Friday, 20th November 2015 at Balai Kartini,
Jakarta.”
Tidak!!!. Jangan Bintang.
Mentari berhak mendapatkan laki-laki yang lebih layak, yang lebih baik. Seperti
aku. Upss, bukan itu maksudku. Siapa sajalah, asal bukan Bintang.
Bintang, lelaki busuk.
Playboy cap tikus. Cassanova kelas teri. Aku membecinya sejak dulu. Sejak
melihatnya. Sejak ia mendekati mentari, lalu memacarinya dan akhirnya
memutuskan cintanya.
Aku harus mengingatkan
mentari. Aku punya waktu dua minggu untuk membuat Mentari menyadari
kesalahannya.
Aku butuh bantuan. Aku butuh
Rembulan.
Scene 2 Menemui Rembulan
“Hallo..”
“Ada apa Mi?”
“Mentari bakal nikah. Sama
Bintang.”
“Owhh..”
“Hah!? Kok owhh? Lan, Hallo
Lan..”
“Arrgghhh. Sambungan
teleponnya putus.”
Aku kembali menelpon
Rembulan. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.”
“Yahh, sial.”
***
Sejak membuka email tadi pagi
pikiranku melayang jauh. Sangat jauh, hingga menujunya diperlukan sebuah mesin
waktu. Aku kembali ke masa SMP-ku. 14 tahun lalu. Pertama kali aku melihatnya.
Saat itu sedang Masa Orientasi Siswa. Wajahnya berbeda dari yang lain. Lebih
terang. Lebih Benderang. Ia bersinar. Ia Mentari.
“Bum.. Bumi..”
“Eh, iya Mas.” Jawabku kaget.
Mas Dewa membuyarkan lamunanku.
“Jangan lupa ya, nanti jam
tiga sore kamu mesti ketemu client di Pacific
Place.”
“Iya Mas.”
Aku langsung melihat jam
tangan, sementara mas Dewa telah berlalu meninggalkanku. Ia kembali menuju
ruang kerjanya.
Masih jam sebelas, artinya
aku masih punya waktu empat jam lagi untuk menyelesaikan bahan presentasiku
nanti.
Bekerja di sebuah agency asing
ternama di Jakarta membuatku akrab dengan deadline yang
ketat. Saat ini jabatanku asisten manager dan mas Dewa adalah managerku.
Mas Dewa merupakan sosok yang
tenang. Ditinggal ibunya sejak kecil menjadikan ia seorang yang mandiri. Ibu
mas Dewa meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang. Tak lama setelah
kejadian itu, masih di tahun yang sama, ayahnya lantas menikah lagi. Mas Dewa
yang kala itu masih duduk di kelas tiga SMP kemudian memutuskan masuk sekolah
asrama, hingga tamat SMA. Mas Dewa menyelesaikan kuliah S1 dan S2nya di Amerika
dan baru kembali ke Jakarta sekitar lima tahun lalu. Saat ini usianya 35 tahun.
Kring.. kring.. Teleponku
berbunyi. Dari Rembulan.
“Hallo.”
“Hallo Mi, sorry tadi lagi di
basement jadi lost signal.”
“Iya gak apa-apa. Ada waktu
gak Lan hari ini?”
“Ada lah.. Kayak sama siapa
aja. Kenapa?”
“Gak apa-apa. Ketemuan yuk.”
“Oke. Tapi malam ya. Di atas
jam tujuh. Sore ada meeting soalnya.”
“Sip. Deal ya.”
“Deal.”
***
To be continued..
Created: 18 November 2015
Inspired: Gravitasi
Nyimak dan menanti kejutan selanjutnya..
BalasHapusEnak dibacanya. Ngalir kayak air Mi... Hehehe
BalasHapusScene2 awal kayaknya masih kurang kejutannya, baru pengenalan tokoh.. btw di update trs ya kakak kelanjutan kisahnya.. Asiikk ngalir..
BalasHapus