Rabu, 18 November 2015

GRAVITASI BUMI

Scene 1 Wedding Invitation

mentaripagi@gmail.com  Dear Bumi..WEDDING INVITATION: Mentari And... Nov 6

What..?! Undangan nikah dari Mentari.

Aku menghela nafas panjang sementara mataku nanar menatap layar komputer.

Pikiranku kacau. Hariku mendadak buruk. Tubuhku bak tersambar petir lalu diguyur hujan lebat dan berakhir masuk angin. Aku demam.

Mentari akan menikah? Aku gak terima. Mentari, cinta pertamaku. Cinta keduaku. Ketigaku. Cintaku satu-satunya.

Lama mataku terpaku pada layar komputer. Berharap email dari Mentari hanya fatamorgana yang perlahan hilang dengan sendirinya. Tapi nyatanya, makin lama email itu kian fokus dan justru yang lainnya memudar dan sirna.

Kini pikiranku dipenuhi tanda tanya. Siapa laki-laki yang akhirnya mampu menaklukan mentari.

Penuh rasa penasaran, aku memberanikan diri membuka email dari Mentari.

“WEDDING INVITATION: Mentari And Bintang.

By requesting mercy and blessings God. We Invite you to our marriage and wedding ceremony.

The marriage will be held on: Friday, 20th November 2015 at Balai Kartini, Jakarta.”

Tidak!!!. Jangan Bintang. Mentari berhak mendapatkan laki-laki yang lebih layak, yang lebih baik. Seperti aku. Upss, bukan itu maksudku. Siapa sajalah, asal bukan Bintang.

Bintang, lelaki busuk. Playboy cap tikus. Cassanova kelas teri. Aku membecinya sejak dulu. Sejak melihatnya. Sejak ia mendekati mentari, lalu memacarinya dan akhirnya memutuskan cintanya.

Aku harus mengingatkan mentari. Aku punya waktu dua minggu untuk membuat Mentari menyadari kesalahannya.

Aku butuh bantuan. Aku butuh Rembulan. 


Scene 2 Menemui Rembulan

“Hallo..”

“Ada apa Mi?”

“Mentari bakal nikah. Sama Bintang.”

“Owhh..”

“Hah!? Kok owhh? Lan, Hallo Lan..”

“Arrgghhh. Sambungan teleponnya putus.”

Aku kembali menelpon Rembulan. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.”

“Yahh, sial.”

***

Sejak membuka email tadi pagi pikiranku melayang jauh. Sangat jauh, hingga menujunya diperlukan sebuah mesin waktu. Aku kembali ke masa SMP-ku. 14 tahun lalu. Pertama kali aku melihatnya. Saat itu sedang Masa Orientasi Siswa. Wajahnya berbeda dari yang lain. Lebih terang. Lebih Benderang. Ia bersinar. Ia Mentari.

“Bum.. Bumi..”

“Eh, iya Mas.” Jawabku kaget. Mas Dewa membuyarkan lamunanku.

“Jangan lupa ya, nanti jam tiga sore kamu mesti ketemu client di Pacific Place.”

“Iya Mas.”

Aku langsung melihat jam tangan, sementara mas Dewa telah berlalu meninggalkanku. Ia kembali menuju ruang kerjanya.

Masih jam sebelas, artinya aku masih punya waktu empat jam lagi untuk menyelesaikan bahan presentasiku nanti.

Bekerja di sebuah agency asing ternama di Jakarta membuatku akrab dengan deadline yang ketat. Saat ini jabatanku asisten manager dan mas Dewa adalah managerku.

Mas Dewa merupakan sosok yang tenang. Ditinggal ibunya sejak kecil menjadikan ia seorang yang mandiri. Ibu mas Dewa meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang. Tak lama setelah kejadian itu, masih di tahun yang sama, ayahnya lantas menikah lagi. Mas Dewa yang kala itu masih duduk di kelas tiga SMP kemudian memutuskan masuk sekolah asrama, hingga tamat SMA. Mas Dewa menyelesaikan kuliah S1 dan S2nya di Amerika dan baru kembali ke Jakarta sekitar lima tahun lalu. Saat ini usianya 35 tahun.

Kring.. kring.. Teleponku berbunyi. Dari Rembulan.

“Hallo.”

“Hallo Mi, sorry tadi lagi di basement jadi lost signal.”

“Iya gak apa-apa. Ada waktu gak Lan hari ini?”

“Ada lah.. Kayak sama siapa aja. Kenapa?”

“Gak apa-apa. Ketemuan yuk.”

“Oke. Tapi malam ya. Di atas jam tujuh. Sore ada meeting soalnya.”

“Sip. Deal ya.”

“Deal.”

***

To be continued..


Created: 18 November 2015

Inspired: Gravitasi

3 komentar:

  1. Nyimak dan menanti kejutan selanjutnya..

    BalasHapus
  2. Enak dibacanya. Ngalir kayak air Mi... Hehehe

    BalasHapus
  3. Scene2 awal kayaknya masih kurang kejutannya, baru pengenalan tokoh.. btw di update trs ya kakak kelanjutan kisahnya.. Asiikk ngalir..

    BalasHapus